Rabu, 21 Desember 2011

Kisah tentang sebutir kelapa. (Sebait memoar tentang ibu)

Di dunia ini tak ada sosok yang begitu berpengaruh pada diri seorang manusia, disamping ayah kecuali seorang ibu, bahkan bagi sebagian orang atau mungkin mayoritas manusia, ibu adalah sosok sentral dalam kehidupan mereka, segala keputusan hidup baik tentang sekolah, pekerjaan, pernikahan, keluarga dan lain-lain, tak luput dari sumbangsih ibu memberikan petuah dan nasehat bijaknya, saran dan larangan, usul dan pendapat serta pertolongan yang tulus diberikan kepada anaknya tanpa mengharap balas budi.

Bicara tentang ibu, ada berjuta kisah disana, ada suka ada duka, ada sedih ada senang, ada canda dan juga tawa, semua berpilin kasih dan terajut dalam bening cinta sang bunda.
Begitupun bagi saya pribadi, ketika buntu pikiran, ibulah tempat mengadu dan berkeluh kesah, ketika menentukan pilihan, ibulah tempat pemberi nasehat dan sebagainya.
Saat saya ingin melanjutkan kuliah, kepada ibulah saya meminta saran,ketika itu saya mengikuti umptn dan diterima di universitas negeri lampung, tetapi ibu menyarakan saya untuk kuliah di jakarta saja, jadilah saya kuliah di ubinus, selain dekat juga tidak memerlukan biaya tambahan, baik transportasi ataupun bea kost. Saya mengikuti saja saran beliau, saya yakin itulah yang terbaik untuk saya.
Begitupun ketika saya menentukan siapa yang akan menjadi pendamping hidup saya, ibu saya ingin menilai dan melihat bagaimana rupa calon istri saya itu. Maka saya aturlah waktu dimana beliau bisa melihat calon istri saya tanpa sang calon istri mengetahui keberadaan ibu saya. Setelah melihat dengan seksama ibu saya hanya berkata, “Silahkan kamu lanjutkan”. Tanpa bertanya ini, itu, atau bibit bebet bobot dsb. Entah apa yang ia lihat, mungkin dengan mata bathin dan naluri keibuannya ia tahu bahwa inilah yang terbaik untuk anaknya.
Begitupun ketika istri saya mengandung, saya berkonsultasi tentang bagaimana dan di RS mana istri saya harus melahirkan, beliaulah yang selalu memberi saran. Memang saya akui, diantara tiga anak laki-lakinya, sayalah yang paling sering berkomunikasi dengan beliau, sebab abang saya sudah menikah dan tinggal dirumahnya, sedang adik saya yang laki-laki saat itu masih kecil, saya jugalah yang mengantar beliau kemanapun beliau ingin pergi, entah kepasar, ke dokter, ke undangan, ke tempat family dan sebagainya, saya seperti sopir pribadi beliau saja layaknya, dan bila saya ingat saat itu, saya sangat bahagia dan bangga sekali, karena saat itulah saat pengabdian saya kepada beliau, ketika beliau masih hidup, meski hanya sebagai sopir. Saat yang tidak akan mungkin terulang lagi.

Setahun sebelum kepergian beliau, beliau pernah mengajak saya pergi ke parung kerumah sepupunya tapi kali ini tidak memakai mobil, beliau ingin dibonceng pakai sepeda motor, saya kaget sekali, saya bertanya apa masih kuat boncengan motor, gpp, masih kuat katanya. Sayapun tak ingin membantah, jadilah saya pergi pulang dari kemanggisan ke parung sejauh 25Km bersama sang ibu, sebuah pengalaman yang cukup mendebarkan.

Dari segala kisah yang terpatri bersama sang ibu, ada satu kisah yang membuat saya sampai hari ini merasa gundah bila mengingat kejadian itu.
Alkisah ketika beliau sakit (dan ternyata sakit beliau itu berkepanjangan hingga beliau bertemu Rabbnya) beliau meminta saya untuk mampir membelikan sebutir kelapa ijo di pasar palmerah sepulang dari kantor. Pada kali yang pertama, kelapa ijonya habis, jadi saya hanya membelikan kelapa biasa. Saya bilang besok saya belikan kelapa ijonya yang lain. Ibu saya tidak marah, ia pun menerima kelapa biasa itu. Saya pikir tugas saya sudah selesai, toh ibu saya juga tidak marah dan tidak ngotot untuk mendapatkan kelapa ijo itu, Ternyata saya salah besar, ia tidak marah karena menghargai saya yg sudah capek-capek membeli kelapa biasa itu, tetapi di hati kecilnya ia tetap menginginkan kelapa ijo itu. Dan ketika beliau disibukan oleh sakitnya, hingga beberapa kali masuk rumah sakit, saya pun melupakan janji saya tentang kelapa ijo itu.

Sampai pada suatu ketika, beberapa bulan setelah wafatnya ibu saya, saya kembali melewati kios kelapa ijo itu, barulah saya sadar bahwa saya masih punya janji terhadap ibu saya.

Dan.. setiap kali saya melewati jalan itu, mata saya pun berkaca-kaca, perlahan butir-bening mengalir, dan ada sesak didada yg tiba-tiba meraja, saya pun hanya diam terpaku seraya berguman “Ibu maafkan saya”.