Jumat, 06 Juli 2012

Sebuah Julukan


Kedekatan, kekariban dan rasa sayang membuat dua orang manusia saling membuat julukan/kata panggil untuk satu sama lain. Tujuannya agar menambah gizi/nilai dari panggilan terhadap orang yang disayangi.
Julukan biasa diberikan oleh sahabat dekat, kawan karib atau antara sepasang suami istri.
Memanggil dengan julukan membuat sang pemanggil merasa memiliki hal yang berbeda dengan panggilan umum yang biasa digunakan oleh orang lain, dan biasanya yang mengetahui itu hanyalah orang yang paling dekat. Julukan yang saya maksud disini beda dengan poyokan (betawi-red). Kalau poyokan dibuat sekedar untuk lucu-lucuan atau mengenang pada suatu peristiwa lucu tentang sang empunya nama, bisa juga dari nama kecil yang membuat karakter sang empunya nama mudah diingat.

Adalah Sang Nabi yang senang memangil istrinya ‘Aisyah dengan julukan khumairo (yang pipinya kemerah-merahan), dan ‘Aisyah sudah tentu senang dipanggil dengan julukan seperti itu. Meneladani sang nabi, banyak pasangan suami istri yang memanggil pasangannya dengan julukan, entah untuk menambah kemesraan, atau untuk menambah rasa sayang bagi hubungan mereka berdua, dan kamipun, jelas memiliki panggilan masing-masing, yang kalau didengar oleh orang lain terlebih-lebih sanak family, maka mereka akan mengernyitkan dahi tak mengerti apa maksutnya. Ya iyalah, panggilan itu hanya kami berdua yang mengerti. Hikmah dibalik penyebutan dengan julukan ternyata sangat besar, terbukti jika pasangan terlibat dalam konflik rumah tangga (tiada rumah tangga yang bebas dari konflik-red), penyebutan dengan julukan akan menyadarkan khittah awal, komitmen dasar dan mengajak masing-masing ke memori napak tilas, pertama kali mereka berjanji dalam ikatan suci pernikahan beberapa tahun lalu. Sepele, namun cukup membuat lubang-lubang konflik segera tertutup, retak-retak perpecahan segera terpadu kembali dan ujung-ujungnya pertengkaran akan berubah menjadi sentuhan hangat dan cumbuan mesra, setelah itu terserah pemirsa (sensor-red).

Jadi untuk para pasangan yang akan segera menikah, siapkan julukan untuk kekasih anda, semoga setiap kali pertengkaran tiba, julukan itu akan memadamkan api pertengkaran anda, dan jika tidak terjadi pertengkaran, julukan itu akan membuat anda semakin sadar bahwa ada berdua saling membutuhkan.

Untuk pasangan yang sudah kadaluarsa, jangan sedih, julukan masih bisa anda berikan dari sekarang, terserah anda apakah julukan itu berarti atau tidak, anda bebas memberi julukan pasangan anda. Saran dari saya berilah julukan yang mudah diingat seperti “endut”, “lebar” “biang lemari” “kulkas dua pintu” atau apalah yang penting anda bisa mesra. Hahaha.
Selamat memberi julukan pasangan masing-masing, semoga damai menyertai anda berdua, dan piring terbang tak lagi melayang diantara kepala anda”. 

Dan untuk para single fighter yang belum mempunyai pasangan atau sedang menunggu pasangan, tak perlu anda pusing-pusing atau repot-repot mencari julukan, saya sudah tahu julukan anda yakni ‘jomblo’ hahaha. Peace, semoga Allah mempercepat rezeki anda, amin.

PS: Panggilan kami berdua hanya satu huruf, yakni “i”. Jangan banyak tanya, sampe pohon rambutan berbuah jengkol juga tidak akan saya jelaskan. 

Rabu, 04 Juli 2012

Dimanakah gubernur kami?


Kawan, aku baru saja dilantik menjadi penguasa kota ini seratus hari lalu.
Akupun bersyukur atas karunia ini, dan berusaha membumi atas seluruh amanah ini.
Mungkin malam-malamku tak akan nyenyak malam sebelumnya
Dan hari-hariku akan terasa berat seolah terpidana yang sedang menanti pancungan
Mataku akan sembab sebab tangisan yang tak berkesudahan
Jiwaku akan terasa sempit sebab derita mereka yang menjadi tanggungjawabku dunia akhirat.
Dadaku akan sesak melihat betapa pedihnya kehidupan rakyatku, Betapa perihnya kehidupan para dhuafa, betapa nestapanya kehidupan para fakir miskin dikota ini.
Jelang malam tadi selepas rapat marathon membahas bidang kesra
Kusempatkan berjalan sendiri menembus angin malam
Mengusap-usap malam dalam riuh tepi jalan
Menikmati hening dan hentak nadi kota
Mencoba menapak tilas jalan sang khalifah
Bertanya pada malam ada khabar apakah disana.
Nun disana di perempatan permata hijau arah jalan kebayoran lama,
ada seorang nenek renta masih bergelayut dengan dingin
Tangannya terpapah kayu dan seonggok kaleng bekas susu
Menengadah kepada setiap mahluk yang berpapasan dengannya
“Nak berilah nenek sedikit rezeki untuk esok hari”
Begitulah ia ulangi berkali-kali tak jua bosan,
Sampai ketika tiang listrik berdentang keras terbentur tubuh ringih sang nenek,
Suaranya terdengar lantang seolah berkata “dimana gubernurmu berada nek? Harusnya ia melihat kondisi nenek renta ini, adakah tempat nyaman untukmu berlindung di hari tua??”
Lantas aku tersontak kaget bercampur haru, diam membisu dalam rasa yang semakin terasa, dalam perih yang semakin mengiris, seraya menjawab lirih “Aku disini nek, aku disini”
Belum sempat aku mengusap bulir yang jatuh, tiba-tiba kakiku terantuk benda lunak, dipinggir trotoar ditepi jalan becek, sang empunya marah seraya mengumpat, “mengapa engkau injak tanganku pak”. Aku menoleh dan terhenyak kembali.
Seorang bocah remaja tanpa kedua kaki masih terjaga, tangan kurusnya berusaha memindahkan tubuhnya, berlari-lari dengan jari tangannya yg lincah, berusaha memungut segelitir koin yang dilemparkan orang, bunyinya bergerincing seolah berkata “Dimanakah gubernurmu nak, mengapa ia membiarkanmu bertarung dengan maut”
Akupun terdiam kembali seribu bahasa, berusaha menjawab dengan asa yang semakin tak menentu “aku disini nak, aku disini gubernurmu” gumamku dalam hati.
Kakiku terpaku kaku terbujur
Lidahku kelu mulut membisu
Dan hati berzikir seraya berdoa
Mengharap Allah mengampuni dosa-dosaku
Belum habis aku terluka
Seorang kakek hampir renta terlihat duduk dipinggir jalan, menyanyi dengan sebuah rebana, seraya menggelar saputangan sebagai isyarat kepada mereka, para pemilik hati yang ingin berderma. Tak peduli para mata yang memandang menahan iba, seorang yang mestinya beristirahat dengan nyaman bersama anak cucu, bergelut dengan debu dan dinginnya bayu,menunggu sang waktu kapankah ia datang bertamu.
Tak dung  tak dung tak dung tak, suara lirih terdengar antara ada dan tiada, seolah bertanya “dimanakah gubernurmu wahai kakek renta?”
Tiba-tiba
Suara-suara semakin banyak datang bergelombang dari segala penjuru
Saling berebut masuk ketelingaku tanpa bisa aku cegah.
Membawa berita dari sudut-sudut kota.
Nun disana di perempatan pejompongan di samping rel kereta
Para balita berlomba lari dengan bahaya, menunggu sang lampu merah menatap iba
Bagi tangan-tangan kecil yang menengadah, bagi wajah-wajah lugu yang tak mengerti
Mengapa ia berada disitu.
Dunia yang nyaman yang seharusnya dipeluknya dalam taman-taman bermain, tergerus oleh kerasnya negeri yang baru saja memilih gubernurnya.
Dan asap knalpot serta bising kendaraan seolah berkata, “Dimana pemimpinmu Nak”
Nun disana diperempatan cengkareng,
Wajah-wajah lusuh bersimbah keringat, punggung mungilnya memanggul karung berisi gelas pelastik dan botol bekas, menyusuri jalan hingga pagi menjelang, lelah dan lelap membuatnya tergeletak dipinggir kios yg belum buka, hingga dingin air terpercik muka membangunkan khayalnya tentang masadepan, atau sengat matahari menyapa kelopak matanya yg mungil, sayu dan tertutup debu.
Rintik hujanpun menyapa, “dimana pemimpin mu nak? sehingga engkau harus terdampar disini, demi mimpi bapak dan emakmu.
Nun disana di pertigaan condet, bocah-bocah lusuh menjajakan koran, permen dan juga rokok.
Sementara yg lain menyanyi ditemani kicrikan bekas tutup botol, berlari dari satu pintu mobil pribadi ke pintu lainnya, sementara sang pemilik melirik sinis dan acuh tak peduli.
Dan suara-suara kecil itu tetap lantang menyanyi, tanpa tahu mengapa ia harus bernyanyi ditengah belantara kota. Kapankah rasa nyaman datang menghampirimu wahai para bocah, dan anginpun berbisik seraya mencemooh, “kemana perginya pemimpin kota ini nak?”
Nun disana, diribuan perempatan jakarta, diribuan pertigaan ibu kota, di ribuan jalan-jalan metropolitan, di pinggir kali, dibawah jembatan, hingga dipelataran-pelataran toko atau dihalaman rumah sakit. ada banyak anakbangsa yang terampas hak-haknya, ada banyak orangtua renta yang terlantar tanpa bisa berlindung dihari tuanya, ada yang meringis menahan sakit tanpa bisa melakukan apa-apa. Dimanakah pemimpinmu wahai ibukota?
Disisi lain, para aparat di tingkat rendah hingga tingkat tinggi sibuk memperkaya diri, korupsi dan kolusi serta pungli selalu menemani, bagai kawan karib bahkan saudara sendiri. Rakyat kecil enggan mengurus surat miskin lantaran kemiskinannya menjadi komoditi, bahkan mengurus surat kematian seperti mengurus surat hibah, berapa anda sanggup maka urusan menjadi lancar. Para investorpun berinsvestasi karena terpaksa, sebab antrian pungli bagai daftar belanja bertautbaris hingga puluhan baris. Dimanakah pemimpinmu wahai pelayan negara??.
Belum lagi keamanan dan kedamaian yang begitu mahal didapatkan, di kota ini.
Aman dan nyaman adalah seberapa banyak kita mampu membayar preman, baik sendiri ataupun terorganisir rapi, bahkan untuk parkir dihalaman sendiripun rakyat kami terpaksa membayar.  Wahai kota, Dimanakah gurbernurmu menyembunyikan rasa aman milik kami???
Dan akupun tak sanggup lagi berdiri.
Dan jantungku berhenti berdetak
Sebelas juta penduduk kotapun mencari aku kesana-kemari,
Seraya bertanya kemana perginya gubernur mereka selama ini…
-oOo-
(Mudah-mudahan dibaca oleh para cagub, amin)