Selasa, 20 Oktober 2009

Surat terbuka untuk Bapak Presiden

Assalamualaikum Wr. Wb.
Yth Bapak Presiden Republik Indonesia

Saya adalah seorang bocah laki-laki berumur 10 th, saya mempunyai kakak perempuan berusia 12 th dan adik berusia 5 th.

Kini kami bertiga telah yatim piatu dan sekarang sudah tidak bersekolah lagi, keadaan yang memaksa kami untuk hidup dijalanan, saya berdagang koran, kakak dan adik saya menjadi pengemis dan pengamen jalanan.

Bermula dari Lumpur itu

Dahulu sebelum bencana itu datang, keluarga kami masih mempunyai kehidupan normal, meski kami hanya hidup dalam rumah kecil dengan sedikit perabotan seadanya. Ayah seorang anak tunggal bekerja sebagai buruh, kemudian berhenti dan berwiraswasta membuka warung kelontong didepan rumah, sedangkan Ibu bekerja sebagai TKW di Timur tengah dan selalu mengirimkan uang tiap bulan kepada keluarga kami.

Kematian Ibu

Enam bulan sebelum lumpur itu menghancurkan rumah kami, musibah terjadi menimpa ibu, Ia hampir diperkosa majikannya tetapi berhasil kabur keluar rumah setelah menusuk majikan nya itu dengan sebuah pisau buah. Tetapi keluarga majikan malah memfitnah ibu dengan fitnah keji, ibu dituduh merayu dan membunuh majikan. Ketika Ibu ditangkap dan didakwa dengan hukuman gantung, Ibu sangat syok, tiada yang membelanya karena semua bukti direkayasa. Pemerintah dalam hal ini KBRI tidak bisa memberikan pertolongan apa-apa, kecuali hanya sekedar simpati. Disana ibu berjuang sendiri, tidak ada yang perduli dengan dirinya yang hanya sebagai korban, dan pertolongan pemerintah sebagai tempat terakhir seakan-akan seperti pungguk merindukan bulan. Para petinggi itu seakan tidak peduli akan nasib ibu, tidak ada usaha untuk membuktikan bahwa ibu difitnah oleh majikannya. Dalam masa penahanannya, ibu mengirim surat-suratnya kepada kami, surat-surat yang membuat kami menangis setiap hari, membuat bapak selalu pingsan dan membuat si bungsu dan kakak perempuanku merintih setiap malam. Hanya aku sebagai anak lelaki yang paling besar yang berusaha tabah dan menyabarkan keluargaku. Hari-hari ceria berubah menjadi kelam, canda tawa kami seketika menghilang dalam gelapnya episode yang akan kami lalui nanti. Sampai suatu ketika dalam surat terakhirnya, ibu menyuruh bapak untuk tabah dan kuat untuk melanjutkan kehidupan keluarga kami, ia memilih jalan yang terhormat ketimbang mati dalam kondisi difitnah. Dua hari setelah itu, kami mendengar ibu tewas bunuh diri didalam penjara. Ternyata jalan terhormat itu yang dimaksud ibu dalam surat terakhirnya adalah gantung diri.

Setelah kematian Ibu, kehidupan berjalan normal kembali dan bapak melaksanakan janjinya, ia tidak terlihat cengeng, bahkan lebih tegar, terbukti dengan niatnya berwiraswasta dengan membuka warung kelontong yang cukup ramai, bahkan bapak nekad meminjam uang untuk menambah modal usahanya. Ia katakan kepadaku kalau ingin besar harus berani mengambil resiko besar pula.

Bencana itu

Roda kehidupan berjalan bagai pedati menarik jerami, ia berputar kadang diatas dan kadang dibawah.
Belum lama kami berhasil tersenyum kembali sejak kematian ibu, bencana yang lebih besar datang, kampung halaman kami terendam lumpur yang berasal dari pipa pengeboran perusahaan swasta.Lumpur itu melululantahkan rumah-rumah kami dan terpaksa kami menjadi pengungsi dikampung halaman sendiri. Rumah kami, sekolah kami, surau kami kini hilang ditelan bumi, memang katanya ada penggantian dari perusahaan itu, tapi ternyata penggantian itu hanya berlaku untuk rumah-rumah yang terdaftar di lembaga penanggulangan lumpur milik pemerintah dengan mengajukan surat-surat tanah, sedang rumah kami, rumah kecil warisan dari kakek kami, yang hanya terletak diujung jalan tidak pernah dihitung oleh mereka. Kami berusaha melaporkan kepada Pak RT, tetapi Pak RT sendiri kami tak tahu dimana rimbanya, beliau sudah pergi entah kemana karena rumahnya pun telah hilang. Ayah kami yang lugu tak tahu harus meminta tolong kepada siapa, dan ia bingung harus melakukan apa, bahkan ia sering berteriak-teriak seperti orang gila karena tak sanggup menahan beban derita yang berkepanjangan karena ganti rugi tak jua dibayar-bayar. Sampai pada suatu ketika, ia menyuruh kami untuk ke Jakarta meneruskan sisa-sisa hidup kami untuk menumpang kepada seorang kerabat ibu disana. Dibekali secarik kertas alamat dan sedikit uang kami bertiga pergi ke jakarta menumpang bus malam diantar tetangga kami.
Sesampai di Jakarta, kami tak tahu harus kemana, kami pun tidak mengerti mengapa ayah menyuruh kami pergi ke kota besar ini, selain ia hanya bilang bahwa kita lebih baik tinggal bersama kerabat ibu yang tinggal disini. Ayah akan berjuang mendapatkan haknya untuk menuntut penggantian uang gantirugi atas rumah kami, begitu katanya sambil tertawa terbahak-bahak sambil menangis. Terakhir, kata tetangga kami ayah kami harus meninggal karena gantung diri sebab tak kuat lagi untuk menahan berat hidup.

Di jakarta, kami luntang-lantung tak tahu harus kemana, sampai akhirnya kami dirazia oleh satpol PP karena disangka kami pengemis dan gelandangan. Dan memang saat itu, tanpa sadar bahwa kami memang telah menjadi gelandangan. Kami tak punya siapa-siapa di kota besar ini, rumah tempat tinggal kami dipaksa untuk hilang dari muka bumi, sekolah kami dan masa depan kami dirampas dengan paksa oleh orang-orang itu yang entah siapa mereka dan apa kesalahan kami. Yang kami tahu kami dan teman-teman kami tercerai berai oleh bencana itu, bencana yang oleh Bapak Presiden dibilang sebagai “Musibah” sedang bagi kami tetaplah sebagai bencana.

Selepas dari pemeriksaan satpol PP, kami ditolong oleh seorang tua penjual koran yang juga tertangkap oleh petugas itu. Ia membawa kami untuk tinggal digubuknya yang sempit seraya berjanji untuk mencari alamat kerabat ibu kami. Digubuk yang terletak disamping rel itu, kami meneruskan sisa-sisa nafas kami, kami tinggalkan masa kanak-kanak kami dengan berjuang untuk bertahan hidup. Saat anak-anak yang lain bercengkerama dengan teman sekolahnya, adik kami yang seharusnya duduk dibangku TK, terpaksa berlari-lari dijalanan untuk mengemis dari satu kendaraan ke kendaraan lain tak peduli kaki mungilnya menghitam dan rambut kritingnya memerah karena sengatan matahari. Setiap ada kendaraan yg lewat dan berhenti, tangan kecilnya tak lupa untuk menengadah berharap ada pengendara yang berbaik hati memberikan sedekahnya. Sedangkan aku, berdiri dan berlari-lari diperempatan jalan sambil meneriakan koran yang aku jajakan sejak subuh tadi, semoga ada pembeli yang mau membaca koranku pagi ini. Dan kakakku, karena ia memiliki suara merdu, ia menjadi pengamen jalanan dengan sebuah kericikan ditangan. Ia yang seharusnya duduk di bangku SMP dengan kecerdasan yang dimilikinya, seharusnya bisa merenda masa depan yang lebih baik. Semua pekerjaan itu kami lakukan dengan terpaksa, dari pagi hingga malam demi menyambung hari esok, demi menggapai impian-impian anak-anak kecil seperti kami.

Bapak Presiden yang saya hormati.

Karena seringnya membaca koran, kini aku menjadi tahu tentang siapa dirimu, dan apa saja yang bisa engkau lakukan dengan kekuatan hebat yang engkau miliki. Karena sering membaca koran itu juga aku bisa menulis surat ini untuk mu, Ternyata engkaulah orang yang selama ini aku cari-cari. Engkaulah orang yang bisa merubah nasib kami dengan sekali perintah saja, orang yang memiliki kesanggupan untuk merubah dunia ditangannya. Orang yang bisa merubah nasib Ibuku jika saat itu ia mau tahu dan membantu dengan bantuan hukum, orang yang bisa mengembalikan rumah kami yang hilang terendam lumpur, orang yang bisa menyembuhkan sakit gila ayahku, orang yang bisa menyekolahkan si bungsu adikku, juga aku dan kakakku, orang yang bisa menampung anak-anak seperti kami dalam rumah yg nyaman, orang yang bisa membuat cerah masa depan kami dan ribuan anak-anak jalanan lainnya yang terjebak dalam kondisi ini bukan karena inilah nasib mereka, tetapi karena dipaksa oleh orang dewasa yang tidak berprikemanusiaan.

Bapak Presiden, yang aku kagumi,

Pagi ini setelah melihat berita engkau dilantik, aku ingin engkau menggunakan kekuatan hebatmu untuk membantu kami menemukan kembali kebahagiaan kami yang hilang. Mengembalikan keceriaan sibungsu, memuluskan kembali jari-jari tangannya yang terbakar aspal dan memutihkan kembali mukanya yang tertutup debu jalanan. Juga mengembalikan tawa riang kakak kami yang menghilang sejak ayah sakit jiwa dan menyegarkan kembali wajahnya yang cantik dengan untaian senyumnya seperti beberapa tahun lalu. Juga membantuku mewujudkan cita-cita Ibu dan harapan ayah pada diriku untuk menjadi orang yang berguna bagi sesama. Engkau Juga adalah orang yang bisa melindungi anak-anak seperti kami yang terpaksa mencari nafkah dijalanan, dari jeratan undang-undang ketertiban milik pemda yang senantiasa bisa menjerat kami kedalam penjara.

Bapak Presiden yang aku hormati,
Jika engkau tidak bisa menggunakan kekuatan hebatmu untuk kami, tidak mengapa, aku tidak akan marah, begitu juga adik dan kakak ku. Kami terbiasa tidak meminta kepada orang lain, kami terbiasa tidak menggantungkan hidup kepada manusia lain. Keluarga kami terbiasa hidup keras dan tidak lemah. Satu-satunya tempat bergantung kami hanyalah Allah, Tuhan pemilik dunia ini, itulah yang sering almarhum ibu sampaikan kepada kami, untuk menghibur diri kami saat kami jauh darinya.
Jika engkau sulit untuk mewujudkan harapan kami, juga harapan ribuan anak jalanan lainnya, juga harapan jutaan kaum yang senasib dengan kami, kami hanya meminta kepada engkau untuk mengaminkan doa kami saja, semoga kami bisa menggantikan posisi engkau ketika kami dewasa nanti. Karena kami ingin menolong orang yang bernasib seperti ibu kami, kami ingin menolong orang yang senasib dengan keluarga kami, juga keluarga-keluarga lainnya yang kurang beruntung hidup dinegeri ini.
Sampaikan salam kami untuk para pembantu engkau, agar beliau juga mengamini doa kami, agar kami dapat menggantikan posisi mereka kelak jika kami besar. Agar Si bungsu kelak akan tercapai cita-citanya menjadi orang yg menyayangi orang lain dengan sepenuh hati seperti sayangnya pak tua penjual koran itu kepada kami, setiap pagi ketika hidup mulai bergulir kembali.

Bapak Presiden yang kami hormati, semoga engkau membaca surat kami.

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Dari anak negeri yg terhempas di jalanan karena nasib yang kurang beruntung.


20 Oktober 2009, Tengah malam bertepatan dengan pelantikan Presiden/Wakil Presiden RI periode 2009-2014

Suatu Siang Di Seberang Istana (IWAN FALS)


Sore Tugu Pancoran (IWAN FALS)

6 komentar:

  1. subhanallah... tulisan yang sangat menyentuh... semoga surat ini dibaca pak presiden yang terhormat, semoga nurani beliau tersentuh membaca tulisan ini...

    BalasHapus
  2. Semoga pak presiden juga ikut membaca blog ini ...

    BalasHapus
  3. coba aja kalo saya adalah seorang PResiden, mungkin saya bisa membantumu . . . sekarang saya cuman bisa bilang Amin :) . . . Tuhan maha pendengar dan maha mengetahui . . meskipun Presiden tidak tau dan tidak akan membaca suratmu, , , , ,

    -hany-

    BalasHapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  5. @All: Surat kepada presiden ini adalah fiksi, tetapi kisah didalamnya adalah nyata. Bukankah TKW yang bunuh diri, para korban lumpur dan anak-anak terlantar itu adalah nyata. Saya hanya meramu kisah yg sering kita dengar, bahkan hampir sering kita dengar kedalam sebuah cerita pendek untuk diingat kembali oleh pemimpin negeri ini, minimal mereka ingat bahwa UUD kita memerintahkan bahwa fakir miskin, kaum duafa dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Ini yang paling awal kita tagih kepada mereka dengan memanfaatkan momentum pelantikan presiden. Demikian.

    BalasHapus