Rabu, 06 Oktober 2010

Dua Sujud Saja

“Setetes air akan terlupakan jika ada segelas air, segelas air akan terlupakan jika ada seember air dan seember air akan terlupakan saat melihat kolam air melimpah ruah, sayangnya waktu berjalan berbanding terbalik, lautan luas, danau, kolam dan seember air hanya ada dimasa muda kita, dan semakin kita tua, kita hanya bisa mendapatkan setetes air di akhir hidup kita, dan dua sujud itu bagai setetes air yang melepas dahaga...”

Siang itu aku terbaring lemah di tempat tidur, ku usap kening yang basah dan ku basuh kembali dengan kompress yang telah disiapkan oleh istriku sejak pagi tadi. Ku coba menenangkan diri dan merenungi, mengapa aku bisa terserang penyakit seperti ini.
Sudah tiga hari ini aku merasakan badanku sangat panas, bibir kering dan badan pegal-pegal, tapi aku tidak tahu mengapa seluruh sendiku terasa nyeri sekali. Aku sudah berusaha pergi kedokter, dan dokter menyatakan aku hanya sakit kelelahan biasa, dan tak perlu ada yang dikhawatirkan.

Hari keempat pada sepertiga malam, kurasakan badanku tak bisa bergerak sama sekali, aku terbaring lemah di kasur, hanya bisa memandang langit-langit dengan bola mata yang senantiasa basah oleh airmata. Saat-saat seperti ini kematian terasa begitu mendekat dan kecongkakan sebagai manusia lenyap dari sanubari. Berganti dengan rasa takut akan ajal yang akan segera tiba sementara jiwa belum siap menghadapinya. Hanya tangisan dan tangisan mengisi detik demi detik, menyesali waktu yang terlewat begitu saja, menyesali masa yang berlalu tanpa makna. Seraya bibir bertasbih dan hati memohon janji kepada sang pemilik jiwa untuk diberi sehat kembali agar bisa beribadah dengan lebih baik dari hari ini dan hari kemarin. Begitulah janji ucap seorang hamba ketika dalam posisi lemah, ketika dalam posisi tertawan oleh takdir bahwa kelak manusia akan mati meninggalkan dunia dan pergi menemui rabbnya. Aku yang saat itu tak bisa berbuat apa-apa hanya bisa memohon kepada rabb agar diberi kesempatan beribadah kepadanya, melaksanakan qiyamullail meski aku tak tahu apakah sanggup atau tidak, Aku hanya ingin sholat dengan khusuk, di saat-saat akhir kekuatan masih merayap dalam tubuh ini, disaat aku masih bisa bersujud meski dua sujud saja.

Dulu saat aku sehat, jangankan dua sujud, ribuan sujud pun aku masih sanggup, tetapi ribuan sujud itu aku sia-siakan, berlalu bagai debu ditiup angin. Kini, hanya dua sujud saja yang aku persembahkan untuk Tuhanku aku tak mampu, hanya dua sujud saja aku tak bisa, sampai aku memohon-mohon dengan air mata kepada Rabbku agar diberi kekuatan menegakan dua sujud itu. Ya robbi, hanya dua sujud saja aku tak bisa memberikan ibadah terbaikku untuk Mu. Ya Tuhanku, bagaimana berharganya dua sujud ini bagiku, dua sujud yang pernah aku sia-siakan dalam sehat dan waktu luangku. Dua sujud yang membedakan seorang mukmin dengan fajir, dua sujud yang membuat hamba mudah dikenali pada yaumil mahsyar, dua sujud yang memberikan kedamaian pada malam-malam seorang hamba yang soleh, dua sujud yang memberikan keadilan pada para pemimpin yang takut kepadamu disaat manusia lain terlelap tidur. Dua sujud yang membuat si papa merasa lebih kaya dari para agniya yang masih sibuk menghitung uangnya meski hari telah larut, dua sujud yang mampu memberikan keberkahan dan kesehatan para hambamu para ahli qiyamul lail, dan dua sujud itu pula yang telah aku lupakan selama ini, sehingga aku tak siap menghadapi terkaman takdir bahwa aku harus terbaring disini. Ya robbi, ampuni aku...ya robbi kasihani aku...ya robbi beri aku kesempatan menikmati dua sujud itu...ya robbi...amin..

In The middle of the night, mencari sujud yang hilang.

Rabu, 08 September 2010

Ibadah terbaik diujung ramadhan.

Ya robbi,
Tak terasa hamba telah berada diujung ramadhan.
Tak terasa pula hari-hari hamba melaju begitu saja.
Tak terasa waktu terlempar sia-sia tanpa makna.
Meski hati meratap dan jiwa mengharap atas pengampunanMU di bulan berkah ini.
Janji yg terucap setahun lalu selaksa tanpa makna.
Saat hamba kembali sibuk pada urusan dunia.

Ya Robbi,
Betul di awal ramadhan hamba merasa dekat kepada mu.
Betul saat itu hati ini sangat syahdu mengucap kalam ilahiMu.
Tapi, seiring berjalan waktu, ketika kesibukan tugas menyergap tak kenal ampun, menelusup nadi dan mengancam idealisme kami sebagai hamba, hilang pula kesyahduan ibadah kami.
Yang ada hari-hari ramadhan berjalan seperti hari biasa, bahkan lebih keras dan kejam, karena terbeban oleh makna kemenangan idul fitri yg kami artikan hanya sebatas kemegahan dan kemewahan, ajang pamer materi antar manusia dan manusia lainnya. Jadilah kami para pemangsa buas sebuah materi bernama uang, dan dengan alibi tunjangan hari raya, kamipun menghalalkan segala cara.
Hari-hari kami pun lebih sibuk dengan urusan dunia. Jejaring sosial, sms, chating, bbm ataupun email, lebih menarik perhatian kami ketimbang kitab suci MU. Juga canda ria dan gelak tawa lebih mendominasi daripada harapan mohon ampun akan penyesalan diri di bulan suci ini.

Ya robbi.
Kini dimalam terakhir ramadhan Mu tahun ini. Kami bersujud dan bersimpuh mohon ampun atas kelalaian ini. Berusaha mengisi hati-hati kami dengan mengingatmu kembali. Meski kami tahu. Semua itu tak mengembalikan ramadhan kami lagi.
Jika Engkau bertanya kepada para hambaMu yang saleh, apakah ibadah terbaik kalian pada ramadhan tahun ini, mereka pasti dengan mudah menyebutnya dengan lantang.
Tapi jika engkau bertanya kepada kami, apakah ibadah terbaik kami ramadhan tahun ini?, maka kamipun hanya bisa terdiam.
Hanya lelehan airmata dan butiran penyesalan yang kami berikan.
Hanya tangisan yg menyesak dada yang menjadi jawaban.
Dan mungkin, hanya airmata penyesalan ini yang bisa menjadi ibadah terbaik kami, ya robbi.
Tiadalagi selain bulir-bulir bening yg jatuh perlahan di kelopak mata kami.
Mengingat tak satupun diantara kami yg tahu, apakah kami akan bertemu lagi dengan ramadhanMu tahun depan.
Atau ramadhan ini adalah ramadhan terakhir bagi kami...
Faghfirliii, faghfirliii yaa robbi..ini kuntu minadz dzholimiiin.
Ampuni kami ya robbi, sesungguhnya kami termasuk orang-orang yg zholim.

Selasa, 10 Agustus 2010

Ketika Senja Awal Ramadhan Tiba

Nak, lihatlah ke ufuk barat
Sejumput mega berwarna jingga telah menyambut hari-hari kita.
Hari-hari yang akan membawa kita kepada rangkulan kasih sayang Tuhan
Hari-hari yang membuat semua orang bergembira
Hari-hari dimana persaudaraan semakin merekat
Antara si kaya dan si papa
Antara si miskin dan yang berpunya.

Nak,
Sebelum jingga itu menghilang
Sebelum malam-malam itu menerangi sujud-sujud kita
Mari kita ucapkan syukur kepadaNYA
Karena kita dipertemukan kembali oleh hari-hari yg penuh rahmat dan ampunan itu.
Hari-hari dimana amal baik dilipat gandakan
Hari-hari dimana ampunan di curahkan dari langit tiada henti, dalam siang dan malam.

Nak,
Inilah saat yang kita tunggu-tunggu,
Saat menebar kebaikan dan kasih sayang lebih banyak dibanding hari biasanya.
Saat kita meminta kebaikan untuk diri kita dan untuk orang lain yg kita sayangi.

Nak,
Saat ini nenek terbaring sakit, berdoalah dalam sholatmu nanti untuk kesembuhan beliau dan ditambahkan kesabarannya.
Doakan pula ayahmu ini agar tetap kuat memegang kemudi bahtera rumah kita,
Agar tetap istiqomah mencari rezeki yang halal, tidak terperosok kedalam lembah harta yg haram yg membuat keluarga kita menangis tak henti-henti karena dosa itu.
Doakan pula ibumu agar bertambah sabar dan kuat dalam membantu ayah, dalam menyayangi kamu dan adik-adikmu. Mintalah kepada Tuhan agar ibumu tetap tegar menghadapi kondisi apapun, sebab godaan dunia begitu kuat dan dahsyat, sehingga mampu menenggelamkan kesabaran kita.
Doakan pula teman-temanmu yang mungkin saat ini menderita, baik oleh penyakit, kemiskinan ataupun musibah yang menimpa keluarga mereka. Doakan mereka tetap tersenyum meski perih dan pedih menghantui langkah-langkah mereka.
Doakan pula teman-temanmu dari kalangan berada, semoga keluarganya tetap diberkahi sehingga mereka bisa membantu saudara kita yang papa.
Doakan pula keluarga kita bisa menyelesaikan hari-hari itu dengan ibadah dan syukur kepadaNYA. Tetap konsisten dalam rangka muroqobatullah, mendekatkan diri kepadanya, sebab Dialah pemilik alam semesta ini.

Nak,
Sebelum kita memasuki hari nan suci itu.
Mari kita sucikan niat dan diri kita,
Mohon ampunan kepada sang pencipta
Mohon maaf kepada sahabat dan saudara
Semoga langkah-langkah kita menjadi ringan karena maaf-maaf itu.
Nak,
Selepas senja nanti,
Marilah kita mencoba menghisab diri
Meluruskan niat dan menata hati ini
Dengan mengurangi gelak tawa dan canda yang bisa menutupi hati
Menggantinya dengan tangisan dan harapan semoga diampuni
Atas dosa-dosa yang pernah terjadi
Semoga Allah meridhai setiap usaha yang kita lakukan.
Mari nak,
Kita sambut sang senja itu, dengan senyuman takwa dan pengharapan..

Marhaban ya ramadhan...

Rabu, 30 Juni 2010

Sejumput empati yang terlupa...

Kisah ini terjadi pada tahun 2000, dan ini adalah pengalaman pribadi yang sangat menyentuh jiwa saya. Kisah ini adalah mewakili karakter sejumlah manusia yang bertanggung jawab atas nasib seorang bocah kecil yang pergi menemui Rabbnya karena kealpaan kami dalam menjawab keinginan sang bocah yang begitu mulia dalam menuntut ilmu.

Kisah ini pula yang menyadarkan saya betapa pentingnya mempunyai sense of crisis yang tinggi terhadap kaum papa, betapa pentingnya arti persaudaraan terhadap kaum miskin, betapa pentingnya pula merendahkan diri dan mengayomi sesama mahluk, juga betapa pentingnya melihat dan turun kebawah-menerima informasi secara langsung serta betapa pentingnya menikmati sulitnya kehidupan mereka,kehidupan kaum dhu’afa.

Kisah ini bermula dari keinginan sebuah keluarga kecil nan papa untuk menyekolahkan putri semata wayangnya kesebuah Taman Kanak Kanak Islam Terpadu di bilangan Kemanggisan Jakarta Barat yang kebetulan saya menjabat sebagai Ketua Yayasan Pendidikan disitu.

Katakanlah keluarga itu adalah keluarga putri, dengan sang anak bernama Putri (bukan nama sebenarnya), ibunya bernama Ummi Putri dan ayahnya Abi Putri. Tingkat ekonomi keluarga itu bukanlah termasuk tingkat ekonomi keluarga mampu, bukan pula tingkat ekonomi keluarga para penerima MSAA yang mulai kongkalikong dengan pemerintah agar tidak dijadikan miskin, bukan pula keluarga mantan penguasa orba atau keluarga kroninya, bukan pula para keluarga oportunis baru yang mulai menggeliat pencari peluang kapan bisa dekat dengan penguasa, bahkan keluarga tersebut dapat dikatakan hidup dibawah garis kemiskinan, garis yang menjadi fenomena umum yang mewakili mayoritas rakyat Indonesia pasca krisis moneter.

Abi Putri hanyalah seorang pedagang bakmi ayam keliling, sedang Ummi Putri adalah seorang pedagang gado-gado. Mereka adalah kaum urban yang mencoba mengadu nasib di Jakarta. Tinggal dikontrakan sempit dan kurang terawat di pinggiran Kemanggisan, berbatasan dengan Kelurahan Kebun Jeruk.

Kerasnya kehidupan kota, sayangnya tak mampu dihadapi secara tegar oleh Abi Putri, Beliau sering marah-marah, bahkan terkesan cuek dengan anak istrinya.Setiap kali ada masalah, selalu diakhiri dengan pertengkaran sengit yang cukup membuat jiwa Putri menjadi terganggu bahkan mungkin bisa dikatakan depresi.

Ummi putri lebih bijak dari sang ayah, beliau dikaruniai kesabaran yang kuat untuk menghadapi badai dalam bahtera rumah tangga, beliau berusaha mengalah dan menutupi sesalahan suaminya dengan rajin beribadah. Apapun perkataan dan cercaan suaminya tak pernah Ia balas.

Putri pun bukanlah seorang anak yang manja, Ia seorang anak yang pendiam dan jarang merepotkan orang tua. Saat saya tanyakan tentang sifat-sifat Putri kepada temannya, rata-rata mereka menjawab bahwa putri adalah anak yang baik,rajin dan pandai pula di sekolahnya.

Ya. Putri memang sudah bersekolah, gadis kecil berusia 5 tahun itu sudah masuk ke sekolah taman kanak-kanak kelas A (nol kecil). Ibunyalah yang mengantar pendaftarannya waktu itu. Saat itu kami dari Yayasan belum tahu secara pasti tingkat ekonomi keluarga putri, sebab dari data yang masuk, tertulis pekerjaan Abi putri sebagai wiraswasta. Kebijakan kami adalah membebaskan biaya sekolah bagi para yatim atau piatu atau kepada keluarga yang secara tertulis menyatakan tidak mampu, kami tidak mengetahui kalau keluarga putri tidak mampu, akhirnya biaya masuk dan SPP untuk putri kami anggap setara dengan siswa-siswa yang lain.

Sekolah telah berjalan selama 3 bulan, putri pun bersekolah sama seperti anak-anak yang lain, dengan ceria membawa tas dengan dorongan roda seperti travel bag yang saat itu lagi ngetop pada anak-anak seusianya. Pulang sekolah bermain dengan anak-anak sebayanya dan bermain sepuasnya layaknya anak-anak seusia taman kanak-kanak yang sedang memahami kehidupan dunianya yang penuh keceriaan. Dibidang akademis, menurut laporan kepala sekolahnya, Putri pun kelihatan pintar dan cerdas, Ia cepat sekali menerima pelajaran membaca, menulis dan berhitung. Bacaan qiro’atinya pun sangat bagus dan tidak pernah mengulang. Ia menikmati kehidupannya dengan antusias dan
energik. Sekolah-pulang-bermain-tidur-bangun pagi dan sekolah lagi.

Memasuki bulan ke empat, tiba-tiba putri tidak sekolah masuk selama seminggu, para guru dan kepala sekolah sangat heran, mengapa putri tidak masuk selama seminggu. Lalu saya menyuruh kepala sekolah dan guru untuk menjenguk putri, mencari tahu ada apakah gerangan, apakah putri sakit atau berhalangan. Tiga hari kemudian saya mendapat laporan dari kepala sekolah, bahwa putri tidak masuk karena dilarang ayahnya. Saya bingung, mengapa Abi Putri melarang putri untuk pergi kesekolah. Ternyata ayahnya malu karena sudah dua bulan tidak melunasi SPP. Ia mengalami kesulitan keuangan.
Lalu saya instruksikan kepada Kepala Sekolah untuk menyuruh Putri tetap masuk sekolah tanpa bayaran, sampai putri selesai sekolahnya di TK ini.

Keesokan harinya putri memang sekolah lagi, tapi keesokan harinya pula Ia tak masuk-masuk lagi selama satu minggu. Menurut berita dari para wali murid lainnya, Abi dan Ummi putri malu untuk sekolah karena tdk bayaran, meskipun sudah kami beritahukan bahwa putri bebas biaya sekolah. Tapi ayah putri bersikeras melarang anaknya untuk sekolah, akhirnya kami tak bisa berbuat apa-apa. Tiba-tiba satu minggu kemudian terdengar berita duka cita, bahwa putri berpulang ke Rahmatullah, setelah mengalami sakit selama dua minggu.
Dan ternyata sakitnya putri disebabkan karena ia bersikeras ingin sekolah tapi dilarang ayahnya, subhanallah. Putri mengalami sakit akibat tekanan batin, jiwa kanak-kanaknya terkekang. Keinginan sekolahnya pupus, dunia kanak-kanaknya harus menderita karena alasan ekonomi.

Kami menyadari, bahwa kami pun terlibat dalam peristiwa itu, kami tidak bisa menyalahkan ayah putri. Seandainya dari awal putri kami bebaskan dari uang sekolah, tentu kejadiannya tidak akan seperti ini. Kami sangat menyesal sekali, Astagfirullah al Adziim, Ya Allah ya Rabbi, ampuni kami yang lalai ini, lalai terhadap amanah mu. Saya sebagai pemimpin merasa tak becus dan tak peka atas penderitaan ummat.

Untunglah klaim asuransi jiwa yang kami daftarkan terhadap siswa-siswa kami segera turun, artinya uang sekian juta yang diberikan sebagai penghibur untuk Ummi putri yang begitu shock atas kehilangan putrinya ibarat setitik embun dipagi hari.
Akhirul kalam, peristiwa diatas sangat memberikan hikmah kepada kami para pengurus Yayasan, bahwa kepedulian utama sebagai seorang muslim adalah memahami penderitaan saudaranya secara langsung. Segala orasi, segala ucapan, segala cuap-cuap tak akan pernah membawa hasil, tanpa mengetahui, memahami dan merasakan dengan betul apa kebutuhan mereka. Mungkin para pemimpin yang asyik berebut pengaruh, para penguasa yang asyik berebut jabatan, para wakil rakyat asyik minta kendaraan dinas para pengusaha yang asyik minta fasilitas, tak akan pernah tahu penderitaan orang-orang seperti keluarga putri. Tapi mudah-mudahan kita disini, yang merasa punya nurani,
masih peka terhadap kesulitan sesama agar kelak di akhirat nanti, kita mampu menjawab dengan baik segala amanah yang dilimpahkan kepada kita sebagai seorang pemimpin.
Ya Allah limpahkan ketabahan kepada kaum dhu’afa diantara kami, Amin.


Rojali Dahlan
Ketua YPIA
Kemanggisan Palmerah
Jakarta Barat.

PS. Khabar terakhir yang saya dengar, Ummi Putri dan Abi Putri bercerai, dan
Ummi putri kembali kekampung halamannya.

Senin, 14 Juni 2010

Menanti sebuah jawaban

Seorang pemuda duduk termenung
Menanti datangnya pendamping hidup
Berharap-harap dalam sepertiga malam
Semoga diberikan kekasih idaman

Seorang pemudi terpaku dalam lamunan
Menanti kapan tibanya khitbah sang pangeran
Menangis haru dalam gelap-gelap malam
Semoga tuhan mau berkenan

Sepasang suami istri bersimpuh dalam sujudnya
Menanti datangnya amanah dan titipan
Menanti masa yg bertahun2 tak jua tiba
Yang melengkapi kebahagian mereka,
Yang melengkapi dunia mereka

Seorang ayah yg miskin dan papa
Merajut tangisan dalam butiran-butiran airmata
Menghentak malam-malam sepi dalam munajat
Berharap sangat pada sang kuasa
Semoga nasib bisa cepat berubah

Seorang istri mengusap duka laranya
Yang hanyut ditelan lelehan airmata
Mengharap sang suami kembali padanya
Menanti bahagia kembali dalam hidupnya

Seorang suami tafakur dalam diam
Meratapi sepi yang mulai bergulir
Menahan sesak dalam dada yang semakin dalam
Menanti sang istri yang telah pergi
Dan tak tahu apakah akan kembali

Ketika manusia merasa dalam hampa
Ketika manusia terbenam dalam lautan duka
Tenggelam dalam haru dan airmata
Tersesat dalam gelapnya teka-teki kehidupan
Mengapa ia mudah sekali berputus asa
Mengapa ia mudah sekali lepas dari rahmat allah
Mengapa ia menghinakan dirinya dalam rasa suudzhon
Bahkan menyalahkan Allah sang pemilik jiwa raga
Padahal tiada yang hebat yang sedang ia lakukan
Padahal tiada yang fantantis yang sedang ia kerjakan
Ia hanya menjalankan sesi kehidupan biasa
Ia hanya menyambung nafas untuk kehidupannya esok
Ia hanya mengurutkan buliran-buliran peristiwa dalam hidupnya
Yang mungkin peristiwa itu hanya setetes debu dihadapan sang pencipta
Yang ada atau tidaknya ia,tidak mempengaruhi izzah dan wibawaNYA
Bahkan mempengaruhi rotasi atom dalam dirinya sekalipun
Tapi
Mengapa ia merasa begitu paling sengsara
Mengapa ia merasa begitu paling menderita
Padahal ia hanya melakukan sebuah hal yang biasa
Padahal ia hanya sedang menanti sebuah jawaban
Yang ia sendiri tidak berhak untuk bertanya
Apakah jawaban itu sesuai atau tidak dengan keinginan hatinya
Jika ia merasa bukan siapa-siapa
Mengapa tak menjadikan Allah sebagai jawabannya???

Rabu, 02 Juni 2010

Sebutir batu untuk Ali

Pagi baru saja merayap, gelap masih mencengkram lemah, sementara subuh sudah terlewati hampir setengah jam yang lalu, dan rona fajar masih enggan menampakan wajahnya. Dua orang bocah tampak terburu-buru melarikan diri dari sajadah tempat ia bersujud, berlari menuju pantai yang saat itu sangat tenang. Tiba dipesisir pantai, sang kakak mencari tempat yang tinggi agar bisa melihat perahu besar yang katanya akan membawa sekaleng susu untuk dirinya dan adik-adiknya.
Seorang bocah, Husien, berumur 5 tahun tampak antusias berdialog dengan adiknya yang berusia 3 tahun, bernama Ali. Sang adik menanyakan kapan segelas susu penuh buatnya akan tiba.
"Adikku sayang, sabar ya sebentar lagi kita akan meminum susu sampai puas, tidak seperti hari-hari yg lalu, dimana kamu jarang sekali minum susu, meski hanya setengah gelas, sebab kamu harus berbagi dengan adik bayi kita".
"Iya kak, aku senang sekali, kata ibu, kita akan mendapat bantuan susu dari saudara kita dari tempat yang jauh di seberang dunia sana.”, “makanya dik, ibu menyuruh kita kemari untuk mengantri, kasihan ibu di rumah sendiri bersama adik bayi. “Sejak ayah pergi dan tak pernah kembali, hanya ibu yang memberi makanan kepada kita, dan bantuan para tetangga yang baik hati”, “untuk itu mari kita doakan dik, agar mereka cepat sampai disini.” “Baik kak”. Keduanya lantas merebahkan diri di pasir, menatap langit yang mulai memerah, mengiringi kepergian bintang-bintang seraya mengharap kepada sang pencipta untuk mengabulkan doa mereka.
Angin pantai yang mulai datang perlahan meniup-niup kelopak mata mereka,dan mereka tertidur hingga sengatan matahari membangunkan kedua bocah yang mulai terasa lapar itu. “Kak Husien, bangun...bangun.. nanti kita tidak kebagian susu..” teriak Ali membangunkan kakaknya.” “hmmm..ternyata sudah siang, ayo kita menuju ke kerumunan orang-orang itu. Dua bocah kecil berlari kencang menuju kerumunan orang yang terlihat lesu tak besemangat. Sang kakak bertanya pada seorang kakek, “Kakek, mana susu buat kita, apakah sudah dibagikan, kami harus buru-buru pulang sebab adik bayi kami pasti kelaparan belum minum susu”, “Iya kek, mana jatah untuk kami” kata Ali. “Sabar ya nak, perahu susumu di rompak oleh tentara jahat itu, jadi kembalilah kepada ibumu..” Sang adik tertegun...”jadi kita tidak dapat susu ya kak...””Iya dik”
Kedua bocah pun berlari kembali kerumahnya, sesampai dirumah, sang ibu menanyakan kabar kepada kedua anaknya yang masih balita itu, usia mereka memang balita, tetapi, fikiran dan tingkah laku mereka terlihat lebih dewasa dari usia seharusnya, keadaan yg memaksa akibat isolasi tentara zionis membuat mereka hidup lebih tegar, tidak ada tampang cengeng dan merajuk seperti anak-anak balita didunia luar sana. “bagaimana nak, dapat susunya?” tanya ibunya dengan tatapan haru. “Tidak bunda, kata kakek tadi, kapal pembawa susu itu dirompak tentara zionis” jadi kita tidak dapat susu, jangan menangis ya bunda, sebab aku dan adik masih bisa kok memerah susu kambing untuk adik bayi, jadi bunda tidak usah khawatir ya..” , “Tidak, nak, gumam sang ibu dalam hati, bukan bunda yang harusnya jangan menangis, tetapi kamu dan adikmulah yang seharusnya menangis, karena jatah susumu hilang diambil orang, Ibu bangga kepada mu nak, kamu tidak bersedih, malah mengayomi ibu untuk tidak bersedih.
“Sambil mengusap air mata, agar tak terlihat cengeng dimata kedua anaknya sang ibu berkata..”. Tidak mengapa nak, mungkin belum rezeki kita, memang tidak seharusnya kita meminta-minta kepada manusia, sebab Allahlah yang selama ini menjaga kita. Toh meski dalam kondisi yang sulit saat ini dan ayahmu telah syahid meninggalkan kita, kita masih tetap bisa hidup. Kita berdoa saja agar Allah tetap menjaga kita dan bangsa ini. Juga kita berdoa kepada Allah agar saudara-saudara kita dinegeri lain sana tetap tabah dan kuat untuk kembali mengirimkan susu untuk kamu dan adikmu.”Iya bu”. Ini sebuah batu untuk mu,dan satu batu lagi untuk adikmu, Ali, ganjallah perutmu dengan batu itu, sampai ibu bisa bertemu dengan orang yang baik hati, doakan ibu ya nak...”

Nun jauh disana di negeri merdeka bernama Indonesia, banyak para keluarga bersama anak-anaknya berkumpul disebuah restoran terkenal dari AS, restoran yg dimiliki penyandang dana bagi tentara yang telah merompak susu milik Ali. Secara perlahan, suap-demi suap dari fastfood yg mereka makan, menjelma menjadi batu-demi batu yang menjadi pengganjal perut Ali, perut kakaknya Husien dan perut adik bayinya...

-o0o-

1 Juni 2010, Memperingati Black Monday dan untuk Freedom Flotilla yang dibajak zionis.

Sabtu, 15 Mei 2010

Jadikan ia bidadari ayah..

Kebahagiaan akan disadari oleh manusia, ketika ia mulai pergi...

“Horee ayah beli mobil baru, hore ayah beli mobil baru, horee.....” teriak Dina, bocah kecil berusia lima tahun itu berjingkrak-jingkrak kegirangan, kemudian ia melompat-lompat dan berlarian mengitari sebuah mobil type baru berwarna silver mengkilap yg terparkir di carport depan rumah yg cukup luas itu. Sekali-kali ia memeluk mobil itu seperti memeluk boneka mainannya. Sementara sang istri duduk didepan kemudi mencoba menghidupkan dan mematikan mesin mobil itu sambil memperhatikan semua interior mobil dengan seksama, takut ada cacat sedikitpun barang yang ia terima, mumpung sang pengantar mobil masih ada disini, menyerahkan tanda terima barang plus semua asesories mobil kepadanya.
Ya, hari itu sang suami berhasil memenuhi keinginannya untuk memiliki mobil sendiri, memang bukan mobil mewah tapi cukup bergengsi untuk dimiliki oleh pasangan muda seperti dirinya, mobil sedan toyota Vios type G, seharga dua ratus jutaan rupiah.
Rani, sang istri merasa bahagia sekali, sebab keinginannya untuk pergi bekerja membawa mobil sendiri terkabulkan sementara sang suami hanya tersenyum kecut mengingat cicilan yang akan dibayarnya beberapa bulan kedepan.

Sebenarnya Hadi, sang suami enggan untuk membeli mobil itu pada tahun-tahun ini, mengingat kebutuhan dan penghasilannya masih belum cukup untuk menyicil mobil baru, belum lagi ia harus mencicil rumah baru yang cukup luas yang dibelinya dua tahun lalu. Tapi kecintaannya pada sang istri membuatnya mengambil keputusan itu, apapun resikonya. Ia memang sudah berjanji kepada istrinya tentang dua hal jika ingin menikahinya, rumah luas dan mobil dan janji itu sudah lunas ia tunaikan, meski ia harus menelan ludah dalam-dalam.
Hadi bersandar disamping pintu rumah, dari kejauhan matanya berbinar menatap kegembiraan anak dan istrinya, sesekali ia menarik nafas dan mendesah dalam-dalam, ia berusaha tersenyum saat istrinya melambai meminta komentar dirinya tentang mobil itu.
Senyum yang berat yg harus ia kulum, seberat janjinya kepada sang istri, seberat beban kehidupan rumahtangga yg ia tanggung sendiri.
Pikiran Hadi menerawang kembali ke masa silam, masa dimana ia bertemu dengan Rani, seorang gadis pujaan para mahasiswa kampusnya, yang ia sendiri tidak mengerti mengapa ia nekat memperistri sang primadona itu.
-oOo-

Perkenalan Rani dan Hadi terjadi ketika mereka sama-sama kuliah dijurusan dan fakultas yang sama di universitas terkenal di jakarta, keduanya pun melalui jalur masuk mahasiswa baru yang sama yakni PMDK. Rani yang pintar dan cantik menjadi idola di kampusnya dan Hadi termasuk salah satu penggemarnya, meski hanya dalam hati. Bagi Hadi, mengingat Rani pada masa lalu, seperti mengingat sejarah masa silam yg tak mungkin bisa kembali, Rani yg dulu dikenal selama masa kuliah ternyata telah banyak berubah apalagi setelah lulus kuliah dan bekerja pada bank swasta nasional. Dulu semasa kuliah Rani dikenal sebagai gadis bersahaja, tidak glamour dan tidak neko-neko. Ia supel dan mudah bergaul dengan siapa saja. Meski banyak pria yg jatuh cinta padanya, tapi tak satupun yang ia tanggapi, alasannya, ia tidak mau kisah cinta mengganggu kuliahnya, semua dianggap teman biasa saja. Sikap Rani yang acuh terhadap asmara memang dilatar belakangi oleh kehidupan keluarganya yg amat sederhana bahkan bisa dibilang miskin sama seperti latar belakang dirinya, untuk itu Rani berniat kepada dirinya sendiri untuk tetap fokus pada kuliah dan karir, agar ia bisa menaikan taraf hidup keluarganya, bagi Rani kemiskinan harus menghilang dari kamus hidupnya, apapun caranya itu. Karena sikap Rani yg cuek dan acuh itu, akhirnya banyak para pemuda yg mundur, hanya Hadi yg terus memantau, meski hanya dari jarak jauh.

Selepas kuliah dan telah mendapatkan pekerjaan tetap, Hadi memberanikan diri untuk mengkhitbah Rani, tapi Rani menolaknya, karena ia menginginkan cowok yg sudah mapan, bahkan tanpa tedeng aling-aling ia mengatakan bahwa calon suaminya harus sudah mempunyai rumah luas dan bermobil pula. Akhirnya ia hanya minta waktu kepada Rani untuk mewujudkan semua itu dalam waktu tiga tahun. Tetapi Rani tetap enggan, hingga akhirnya Rani memilih calon lain yg sudah mapan, yakni seorang pns pada departemen keuangan. Jadilah Hadi sedih bukan kepalang, ia hanya bisa meratapi nasibnya yg miskin dan papa. Cinta yg disimpannya disudut hati dan dirawatnya hingga mekar selama lima setengah tahun, kini layu bagai disiram air panas, menyisakan pedih dan perih, merontokkan mimpinya dan mengubur dalam-dalam angan dan khayalnya. Perjuangan mempertahankan rasa cinta harus berakhir sebelum ia sanggup menahan beban kekalahan, sebelum ia sanggup menahan kekecewaan bahwa rencananya tidak semulus yg ia inginkan. Angannya yg terlalu tinggi ingin menikahi gadis pujaan membawanya terbang kealam mimpi yg menyakitkan. Padahal, ia merasa yakin, kehidupan asmaranya akan diridhai tuhan, karena ia tidak pernah melakukan perbuatan melanggar batas pergaulan lawan jenis, boro-boro bersentuhan tangan, menatap wajah perempuan saja ia tdk sanggup, apalagi berpacaran layaknya anak muda jaman sekarang. Haram, itulah yg terpatri dalam hatinya.
Semenjak ditolak Rani, Hadi mulai memperbaiki ibadahnya, mungkin kemarin ia merasa Tuhan belum berkenan memberikan rezeki kepadanya karena ibadahnya belum maksimal dan keikhlasannya belum terbukti, selama ini ia beribadah agar Allah mengijinkan ia menikah dengan Rani, begitu selalu doa yg ia panjatkan dalam setiap kesempatan, tapi kini hatinya mulai sadar, keikhlasan dirinya mulai menggumpal. Ia tak lagi beribadah karena mengharapkan balasan, tapi semata-mata lilahi taala. Kini hatinya lebih tenang dan jiwanya lebih damai, ia pasrahkan jodohnya ke ilahi robbi, siapapun itu.

Dalam kepasrahan dan keikhlasan, Tuhan selalu mendengar doa hamba-hambanya, enam bulan setelah ia ditolak Rani, ternyata calon suaminya membatalkan pernikahan dengan Rani, tanpa alasan yg jelas, rumor yg ia dengar sang calon lebih memilih sekolah lagi diluar negeri atas biaya dinas dan dilarang menikah dahulu tanpa seijin atasannya. Perasaan Hadi bingung mendengar kabar itu, apakah harus sedih atau gembira. Yang jelas, mendengar kabar itu menggumpalkan kembali butiran-butiran semangatnya yg sempat hancur berkeping-keping, merajutkan kembali remah-remah asmaranya kepada sang pujaan hati.
Esoknya, ia kembali mendatangi kediaman Rani dan bertemu dengan orangtuanya untuk melamar Rani. Orangtua Rani yg merasa malu atas pembatalan nikah sebelumnya, langsung menyetujuinnya, sedang Rani, meskipun setuju, ia masih tetap dengan syaratnya itu, yakni rumah cukup luas dan mobil, meski akhirnya bisa ia sanggupi enam tahun kemudian setelah pernikahan mereka.

Kini dengan hadirnya mobil sedan di garasi rumah itu, semua syarat istrinya telah ia penuhi, hatinya sangat bahagia meski semua itu ia penuhi dengan tetesan keringat dan darah, dengan luka dan airmata, dengan tebal muka dan pinggang patah-patah. Bagaimana tidak, ia di deadline oleh istrinya harus mengumpulkan uang ratusan juta dalam waktu lima tahun untuk mewujudkan semua itu. Ia terpaksa bekerja bagai mesin, pagi sampai malam, belum lagi mencari tambahan pada hari libur. Kadang ia harus menebalkan muka untuk mencari hutangan untuk menutupi DP pembelian kedua asset itu yg nilainya pun tidak sedikit. Kadang harus bekerja sampai larutmalam mencari sambilan mengerjakan proyek kecil-kecilan. Pada tahun-tahun pertama ia tak perduli, tapi menginjak tahun keempat, ia mulai tidak kuat, semua energinya sudah terkuras habis, tapi hasil yg didapat belum seberapa. Nasib baik masih belum berpihak kepadanya. Disaat gundah gulana seperti itu, pada saat keheningan malam memeluk erat sang waktu, bersamaan dengan saat Hadi pulang bekerja, Hadi hanya bisa duduk mematung di teras rumah, tak tega membangunkan istrinya yg telah lelap tertidur bersama sang bocah. Sejumput kemudian ia melangkah menuju keran di pinggir carport dan mengambil wudhu untuk menghilangan kelelahan jiwa dan raganya, lalu ia sholat dua rakaat di teras rumah dan meneruskan dengan tangisan penuh harap kepada sang pencipta sampai ia tertidur di sajadahnya, begitu seterusnya yg ia lakukan setiap malam sampai azan subuh terdengar dan udara dingin menusuk-nusuk tulangnya, membangunkan dirinya yg terlelap di beranda rumah. Barulah kemudian ia membangunkan istrinya untuk menyiapkan sarapan pagi dan bersiap berangkat lagi, sang istri, hanya mengetahui bahwa suaminya pulang pagi karena sibuk mencari nafkah.
-oOo-

Demi cintanya pada sang istri, Hadi terpaksa bekerja siang malam tanpa henti, demi sebuah janji yg harus ditunaikan, ia relakan dirinya bersakit-sakitan, demi keutuhan keluarganya yang ia banggakan, terpaksa ia gadaikan separuh nafasnya demi kebahagiaan orang yg sangat dicintainya itu. Ia lakukan semuanya itu dengan ikhlas, demi sang bidadari pujaan hatinya.

Kehidupan mengalir mengikuti lekuk-lekuk sungai waktu, hanyut bersama cita-cita, mimpi dan angan-angan manusia. Dengan bermodalkan sebongkah harapan, bekal keimanan dan jala asa, mereka mengayuh bahtera rumah tangga menyelusuri sungai kehidupan itu, seraya berharap tiba ditujuan dengan selamat. Tapi takdir Tuhan jualah yg menentukan roda kehidupan mereka, tanpa seorang manusiapun yg sanggup mengetahuinya.
Karena bekerja terlalu keras, Hadi jatuh sakit, ia terserang lever akut, dan terpaksa dilarikan kerumah sakit. Dokter yang merawatnya hanya menyarankan agar ia mengikhlaskan semuanya, supaya penyakitnya tidak bertambah parah, ia paham apa maksud pernyataan dokter, sebab dokter tidak akan membohongi pasiennya yg tidak sanggup ia tangani.
Dalam lirih suara, hadi memanggil istrinya, yg tampak begitu terpukul akan kondisi hadi, ia hanya bisa menangis sesenggukan. "Rani sayangku" panggilnya,"ya sayang aku disini disampingmu.." jawab Rani, "dari hati yg paling dalam aku sangat mencintai kamu, aku sangat menyayangi kamu",Hadi berbisik lemah, "ya sayangku aku tahu itu, cintamu padaku tak pernah aku ragukan" Hibur Rani, "izinkan aku bicara sebentar saja, aku khawatir jika aku menundanya aku tak bisa lagi berbicara denganmu" Hadi berkata dengan perkataan yg membuat tubuh Rani semakin tak berdaya, ia hampir kehilangan keseimbangan, tapi berusaha untuk mendengar lantunan suara suaminya yg semakin lirih, "Sayangku Rani, sejak pertama kali kita berjumpa, aku sudah menyisakan ruang kosong disudut hatiku untuk dirimu, aku jaga jangan sampai ia terisi oleh yg lain, dan aku simpan rapat-rapat sampai aku yakin bahwa aku siap untuk melamar dirimu. Keyakinanku atas dirimu begitu kuat, kesabaranku menantimu begitu dalam, meski ditengah jalan aku sempat terluka karena rupanya aku hanya bertepuk sebelah tangan". Hadi berhenti sejenak, ia memperhatikan kelopak mata istrinya yg makin penuh dengan airmata, airmata penyesalan karena pernah menolak manusia yg begitu sabar dan telaten menyayanginya. Hadi meneruskan ucapannya "Tapi sayangku, ternyata Tuhan sangat sayang kepadaku, ia mengembalikanmu kepadaku diriku lagi, bahkan menjadikan dirimu belahan jiwaku hingga engkau bisa menemaniku disini, disaat-terakhirku ini, sayangku, hanya satu permintaanku, aku ingin engkau menjadi bidadariku di dunia dan akhirat, meski aku tahu, setelah kepergianku, engkau bebas memilih kembali pangeranmu, memilih orang yg akan mendampingimu meneruskan sisa-sisa hidupmu. Sayangku, tapi aku sudah sangat puas atas nikmat yg allah berikan kepadaku selama ini, selama aku menjadi suamimu. Memilikimu merupakan anugerah terbesar dalam hidupku, maka demi menghargai anugrah itu akupun melakukan apapun demi kebahagiaanmu. Jika Tuhan berkehendak lain, percayalah itu sudah menjadi takdir antara kita dan aku tak pernah menyesal menikahimu. Sayangku ketika lidah ini masih bisa berucap, maka aku berucap kepadamu, maafkanlah atas kesalahanku selama ini, maafkan aku yg memaksamu menjadi belahan jiwaku, meski aku takbisa memenuhi harapan-harapanmu. Jangan kau sesali pernikahan kita, sebab aku bangga dengan apa yg telah kita lakukan bersama, jaga dan rawatlah baik-baik anak kita, sampaikan salam kepadanya bahwa ayah hanya pergi sebentar, menunggu kalian dipintu surgaNya nanti.
Rani tak kuasa mendengar kelanjutan lirihan suara suaminya, rasa bersalah menusuk hatinya dalam-dalam, ia terlalu egois, ia terlalu naif, memaksakan beban kehidupan dirinya ditanggung suaminya sendiri, ia yang trauma terhadap kemiskinan, memaksakan kompensasinya ke orang yg begitu baik kepadanya, yang begitu sayang kepadanya, ia begitu otoriter. Sebelum habis Hadi bicara, Rani sudah tak ingat apa-apa lagi, rasa sesal yg dalam ditambah rasa takut kehilangan membuat syaraf kesadarannya terlepas perlahan, ia pingsan disamping tubuh suaminya, yang makin lama suaranya makin tak terdengar, hanya suara maafkan aku sayang, maafkan aku..., maafkan aku sayang... yang muncul bergantian dengan kalimat tasbih, tahlil dan tahmid. Terus berucap hingga hembusan nafas berhenti, dan jantung tak lagi berdetak. Hanya airmata terlihat mengalir dari kelopak mata sang suami, meski bibir tersenyum puas karena sudah memberikan yg terbaik untuk orang yang paling disayanginya.

Hampir dua jam Rani pingsan disisi suaminya, yg kini telah menjadi jenazah. Saat ia terbangun, Rani belum menyadari, ia terus menangis seraya memohon maaf kepada suaminya atas sikapnya selama ini, sampai kedatangan dokter yg menyadarkan Rani bahwa suaminya telah pergi untuk selama-lamanya.

Nasi telah menjadi bubur, tetapi pintu maaf dari sang pencipta masih terbuka lebar. Rani yg telah menyadari bahwa kebahagiaan bukan hanya kekayaan, dan kemiskinan bukanlah suatu aib, kini perlahan mulai meluruskan jalan hidupnya, dan ia bertekad akan merawat anak sematawayangnya sendiri.

Empat puluh tahun kemudian di sebuah pusara yg masih basah, seorang wanita berjilbab masih tercenung dihadapan makam ibunya, perempuan itu, Dina, masih mendoakan ibu dan ayahnya agar dipertemukan kembali di syurga. Ia adalah harapan orangtuanya yg tersisa, yang melempangkan jalan pertemuan mereka kembali sebagai pasangan abadi, doa dari anak yang saleh yang menjadi pelipur lara kedua orang tuanya. "Ya allah ya rabbi, ampuni kedua orang tua kami, dan kabulkan permintaan ibu yg sering ia ceritakan kepadaku, melanjutkan mendampingi ayah kami di syurgaMu, dan jadikanlah ia bidadari ayahku, amin"

Minggu, 09 Mei 2010

Apakah Kamu Ridha Kepada Ku?

Malam kian larut, diluar sana hujan gerimis masih membasahi bumi, semilir angin meniup lembut memasuki lorong-lorong jendela, udara yang sejuk memanjakan para insan melelapkan tidur-tidur mereka. Dinginnya malam mampu membuat tulang rusuk menggigil meskipun tanpa pendingin ruangan sekalipun. Tetapi suhu yang dingin itu tidak mampu membuat mata Rina terpejam, ia masih duduk dipinggiran tempat tidur, disamping suaminya yang sedari tadi telah lama mendengkur.
Malam itu, Rina sulit sekali terpejam, ia merasa bersalah kepada suaminya, karena meminta sesuatu diluar kesanggupan suaminya yang berpenghasilan pas-pasan, tapi karena sindiran para tetangga, akhirnya ia beranikan diri mengutarakan keinginannya dihadapan suaminya, meski ia tahu, suaminya tidak akan mampu mewujudkannya saat ini.

Pikirannya menerawang kembali pada kejadian beberapa hari lalu, siang itu, ia bertemu dengan orangtua wali murid teman sekolah anaknya. Temannya itu mengundang dirinya untuk hadir pada acara syukuran menempati rumah baru, ya rumah baru yg menjadi impian tiap pasangan yg telah menikah. Mendengar undangan itu hatinya tertegun, ia yg sudah menikah hampir limabelas tahun masih menumpang di rumah orangtuanya, bukan tanpa alasan tapi karena ia dan suaminya memang belum mampu mewujudkannya. Setiap kali ada teman lama yg menanyakan kabarnya pastilah pertanyaannya selalu membuat hatinya gundah, "tinggal dimana sekarang jeng", ia hanya bisa menjawab "masih ditempat yg lama" , begitulah seterusnya. Padahal ingin sekali ia menjawab, "Sekarang kami tinggal di perumahan A atau di kompleks B" tapi tidak bisa dan tidak tahu kapan ia bisa menjawab seperti itu. Belum lagi sindiran tetangga yg selalu menyakitkan hatinya, betapa tidak, ia bersama suaminya masih tinggal dirumah orangtuanya, padahal kedua adiknya sudah pergi dibawa suaminya tinggal dirumah masing-masing. Memang dirinya tidak persis tinggal dirumah orangtua, tetapi di bekas garasi dan kamar yg dibuat menjadi rumah petakan dan dibatasi dengan tembok dan sedikit pagar untuk menunjukan bahwa rumah itu terpisah tapi tetap saja dalam lingkup halaman yg sama dan satu atap pula. Padahal pernah ia mendengar rumor dari neneknya almarhum bahwa malaikat mengirim rezeki kepada manusia satu atap-satu atap, bukan satu keluarga-satu keluarga dan rumor inilah yg selalu menggayuti benaknya senantiasa. Apa mungkin rezekinya seret karena masih tinggal satu atap dengan orangtua hingga ia sulit untuk memiliki rumah sendiri. Kadang ketika ia sedang kalut ia sangat mempercayai rumor itu, tapi ketika ia sadar bahwa rezeki allah yg mengatur ia pun hanya bisa menghela nafas dan istighfar dalam-dalam.

Sore itu ia membulatkan tekad untuk meminta haknya kepada suaminya, ia tak lagi menunggu suaminya berganti pakaian sepulang mengajar di sebuah sekolah swasta. Ketika suaminya tiba langsung ia berondong dengan pertanyaan dan komplain tentang kehidupan rumahtangganya yg dirasakan belum layak, ia tanpa tedeng aling-aling mengatakan bahwa ia iri dengan kedua adiknya, ia juga membandingkan penghasilan suaminya dengan penghasilan suami adiknya, kehidupan materi dirinya dan kehidupan materi adiknya. Sang suami yang kaget karena tidak siap dengan pertanyaan bertubi-tubi hanya diam membisu, hanya sudut matanya terlihat bening membulat yg makin lama makin membesar. Jujur dalam hati sang suami memang ia belum mampu memberikan kehidupan yg layak seperti yg diminta istrinya, ia pasrahkan sang istri mengeluarkan emosi dan amarahnya tanpa membantah satu patah kata pun. Ia hanya bisa menunduk tak mampu menahan tajam mata istrinya, ia sadar bahwa itu memang tanggungjawabnya memberikan nafkah, sandang serta papan merupakan tugas dirinya tapi apa mau dikata, ia belum bisa mewujudkan semua itu. Di helanya nafas dalam-dalam, kemudian ia hembuskan lagi secara perlahan. Perlahan buliran-buliran di ekormatanya mulai menggumpal, ia menangis bukan karena meratapi nasibnya, tapi karena sedih melihat istrinya menderita karena ketidakberdayaannya. Betapa tidak, ia sangat mencintai istrinya yg dinikahinya limabelas tahun lalu, dan selama itu istrinya tetap sabar atas kekurangan dirinya, tetap tersenyum meski lapar dan dahaga kerap menerpa keluarga mereka. Kadang ia malu ketika ibu mertuanya membawa lauk pauk untuk dirinya, istrinya dan anak-anaknya. Semasa ayah mertuanya masih hidup, ia masih bisa menahan malu, karena ayah mertuanya mempunyai penghasilan dari pensiunan tentara, dengan uang pensiun itu sang kakek kerap mengajak cucunya pergi jalan-jalan ke minimarket di ujungjalan dan pulang dengan membawa sekantong makanan kesukaan anaknya. Tapi kini, sang ibu mertua hanya mengandalkan sisa pensiun almarhum suaminya dan ia tidak tega jika ibu mertuanya itu memberi makanan kepada keluarganya.
Ia menangis karena tidak tega melihat istrinya menderita secara batin akibat sindiran para tetangga yg kerap datang menyinggungnya. Ia merasa bersalah tak mampu memberikan kebahagiaan yg sudah patut diterima istrinya. Kekuatan cinta istrinya kepada dirinya selama bertahun-tahun itulah yg membuat hatinya semakin miris, betapa begitu tega dirinya membiarkan sang istri menderita, padahal pengorbanan yg telah dilakukan kepadanya sangat begitu besar. Dulu ketika ia hendak melamar istrinya, sebenarnya ada pemuda kaya yg akan melamar istrinya, tapi sang istri menolak. Istrinya memilih dirinya karena pemahaman agamanya lebih bagus dari pada pemahaman agama pemuda kaya itu. Dan itulah yang membuat istrinya bangga menikah dengannya, karena ia yakin cinta dan kesalehan akan membawa kepada kebahagiaan abadi.
Mengingat hal itu hati sang suami bagai diiris-iris sembilu, ia yg dibanggakan istrinya ternyata tidak mampu membahagiakan balik istrinya. Ia hanya bisa berharap kepada rabb pencipta semesta, untuk memberikan kekuatan kepada dirinya dan diri istrinya untuk tetap tegar menghadapi kehidupan ini. Tapi sebagai manusia, kesabaran menjadi terbatas ketika waktu yg berlalu ternyata melewati batas toleransi. Apalagi ditambah hasutan syetan yg senantiasa memanas-manasi keadaan. Ketika orang lain bisa, mengapa dirinya tidak bisa, itulah perkataan terakhir Rina kepada suaminya saat sebelum meninggalkan dirinya dan pergi masuk kamar untuk menangis tersedu-sedu. Tinggal sang suami duduk lesu tak mengerti harus berkata apa, dalam rasa bersalah yg mendalam, dalam rasa iba kepada istrinya yg merasuk kedalam buluh-buluh nadi lalu mencengkrap kuat ototjantungnya. Saat itu kehidupan dirasakannya seperti berhenti berdetak, sementara azan maghrib sayup-sayup mengalun, mengabarkan dunia akan waktu sholat telah tiba.

-o0o-

Malam pun kian larut, Rina masih memandang wajah lelah suaminya yg telah bekerja seharian, ia tahu suaminya pasti belum makan karena marahnya sore tadi. Sang suami pasti enggan meminta disediakan makan malam untuknya melihat ia dalan keadaan marah seperti itu. Setelah sholat isya, sang suami lebih memilih tidur untuk menenangkan fikiran. Ia tidak perduli perutnya bergejolak karena lapar. Dalam keheningan, Rina memandangi guratan-guratan diwajah suaminya, guratan yg membuat wajahnya terlihat lebih tua dari usia seharusnya. Rina merasa bersalah, mengapa ia menyakiti suami yg tidak pernah menyakiti dirinya sedikitpun selama perkawinan mereka. Ia seakan lupa bahwa dulu ia memilih suaminya bukan karena hartanya, tapi karena kekayaan hati suaminya. Dan ia sangat bahagia akan hal itu. Tapi kini mengapa ia harus menggugat, meskipun gugatannya itu adalah gugatan wajar, ketika seorang istri menuntut hak kepada suaminya untuk mendapatkan tempat tinggal yg layak. Tapi bagi dirinya, hal itu sudah mencederai janji tulus kepada suaminya. Ia yang selama ini tetap tegar dan sabar ternyata bisa lepas kendali hanya karena sindiran tetangganya. Seorang suami yg paling baik, yg tidak pernah memarahinya, yg tidak pernah menuntutnya, yg tidak pernah menyakitinya seujung kukupun kini terluka oleh lidahnya. Ia yg sangat sabar dan telaten, penyayang dan santun, yg selalu mengajarkan tentang kebaikan dan keutamaan wanita solehah kepada dirinya kini harus tersudut oleh ucapan kerasnya. Rina begitu sangat menyesal sekali. Dipandangnya wajah lelap suaminya berkali-kali, diusapnya keringat yg mengalir dikening suaminya. Melihat pemandangan yg menyentuh pada raut muka suaminya,membuat mata Rina berkaca-kaca, nafasnyapun mulai sesenggukan, perlahan airmatanya menetes, butiran demi butiran mengalir dan jatuh menimpa kelopak mata sang suami. Sang suami kaget, ia terbangun dan perlahan membuka matanya lantas berkata. "Ada apa sayang, mengapa engkau bangunkan aku dengan airmatamu, biasanya engkau membangunkan aku dengan kecupan didahiku". Bukannya menjawab, tangisan Rina malah semakin pecah, ia menangis tersedu-sedu dibahu suaminya. Suaminya yg merasa tidak enak karena merasa Rina belum puas atas amarahnya tadi sore kini memberanikan diri untuk berkata. "Istriku sayang, kali ini aku mohon maaf kepadamu lagi, dan aku tidak tahu, sudah berapa kali aku meminta maaf kepadamu atas kelemahan diriku ini, akupun sudah malu karena seringnya aku meminta maaf kepadamu, jika engkau tidak puas kepadaku. Aku pasrahkab diriku atas keputusan yg engkau berikan, apapun keputusanmu itu." Sayangku, izinkan aku membela diri atas kelemahanku sebelum engkau memvonis aku, izinkan aku berbicara tentang hakikat rezeki sebelum engkau pergi dari ku, izinkan aku bicara atas nama cinta dan kasih sayang keluarga kita. Sayangku, aku tahu engkau menikahiku bukan karena melihat latarbelakang diriku yg papa, engkau memilih aku atas dasar keimanan yg aku punya, dan memang hanya itu harta yg aku punya ketika aku melamarmu. Itupula yang membuat aku bangga kepadamu melebihi kebanggaan apapun didunia ini. Aku tahu sebagai istri, kamu ingin seperti adik-adikmu atau seperti wanita lain, memiliki rumah sendiri meskipun kecil, memiliki "rumahku syurgaku" seperti idaman para remaja putri ketika hendak menikah. Memiliki taman kecil dihalaman depan, atau kolam ikan dihalaman belakang, memiliki hiasan kaligrapi diruang tamu, atau pancuran shower dikamar mandi. Bisa berksperimen membuat kue untuk anak-anak kita didapur yg mungil, atau sekedar berteduh di gazebo kecil di depan rumah. Semua itu adalah wajar bagi seorang istri. Semua itu adalah kesempurnaan dalam hidup dan kesenangan dalam rumah tangga. Tapi istriku, aku ingin engkau melihatnya dari sisi lain. Ketika adik-adikmu mempunyai kebahagiaan dan kebanggaan karena memiliki rumah sendiri, kamu pun memiliki kebanggaan dan kebahagiaan juga, karena Tuhan menakdirkan kita masih tetap disini, disamping orangtua kita saat mereka memasuki usia senja, ketika orang lain sulit untuk berbakti kepada orangtua, kita justru menerima anugerah itu, bakti kita kepada mereka, merawatnya ketika sakit, menemaninya ketika sepi, menghiburnya ketika sedih dan membantunya dalam segenap aktifitas sehingga ia bisa melewati masa tuanya dengan tenang tanpa beban bukankah menjadi rezeki tersendiri bagi kita, rezeki berupa pahala yang akan diberikan allah kelak karena bakti kita kepada orangtua. Mungkin dari sisi materi, orangtua lebih bangga kepada adik-adikmu, tetapi dari sisi pengabdian dan kasih sayang kepada orangtua, justru kamulah yg dibanggakannya, berapa kali ibu memujimu dihadapanku karena ketelatenanmu merawatnya. Bukankah itu rezeki yg luarbiasa istriku? Ketika adikmu memiliki dua kebahagiaan yakni kebahagiaan karena memiliki rumah sendiri dan kebahagiaan karena kehidupan yang layak, kamupun memiliki dua kebahagiaan pula, kebahagiaan yg belum tentu dimiliki oleh seorang istri sekaligus, yakni kebahagiaan karena keridhaan orangtua atas baktimu, dan kebahagiaan karena ridha suamimu atas pengorbanan dan kesetiaanmu. Bukankah dua keridhaan itu yg bisa mengangkat derajatmu menuju syurgaNYA".
Rina tak bisa bicara, mulutnya tercekat, betapa suaminya telah berhasil merobohkan tiang kebodohannya, ia telah berhasil membukakan mata batinnya, keluguannya memahami kebahagiaan seolah lenyap, digantikan pencerahan akan kebahagiaan sesungguhnya. Dalam bisik ia bertanya kepada suaminya, "apakah kau ridha kepadaku sayang?" Sang suami pun tersenyum sambil berkata "Ya, aku ridha kepadamu, atas semua bakti yg kamu lakukan selama ini dan aku pun berharap, engkaupun ridha kepadaku" kuharap dengan dua keridhaan yang kau miliki, engkau berdoa kepada Allah untuk memuluskan langkah kita kedepan, mengabulkan semua impian kita dan meneguhkan langkah-langkah kaki kita agar kuat menahan godaan". Rina pun bergumam "amin" seraya berbisik hangat ia berkata" maafkan aku sayang, akupun ridha kepadamu..."

Angin sepoi sejuk bertiup perlahan, memasuki sela-sela pintu dan jendela. Udara dingin yg mengkristal tak mampu membekukan dua hati manusia yang saling mencintai karena Allah, kehangatan yg hadir dari para hati yg saling ridha mendamaikan kehidupan dikamar yg sempit itu, tetapi sempitnya kamar tidak membuat hati mereka ikut sempit, dengan ridha di hati justru meluaskan dan melapangkan kebahagiaan mereka, seluas samudera yang tak bertepi...

Pagi hari, 08 mei 2010

Rabu, 07 April 2010

Kabulkan doa anak ku (Sebuah hadiah buat Ayah)

Sore itu hujan rintik-rintik dan hari mulai gelap, adzan maghrib baru saja terlewati sekitar dua puluh lima menit yang lalu, aku masih terkungkung dibelakang kemudi mobil, menanti macetnya jalan yang luar biasa. Sebagai seorang karyawan, memang aku terbiasa melewati jalan macet seperti ini menuju pulang kerumah. Rutinitas sebagai kepala rumahtangga mengharuskan aku menjalani hidup pergi pagi dan pulang petang bahkan sampai malam jika pekerjaan menumpuk sangat banyak.

Selepas isya aku baru tiba dirumah, langsung mandi dan menikmati santap malam yang dihidangkan istriku.

Tiba-tiba sikecil yang berusia 7 thn menghampiriku dan memberi sebuah hadiah berupa jam weker miliknya, katanya ia ingin memberikan hadiah agar ayah disayang oleh Allah.

Aku terkejut dengan ucapannya, “maksud kamu apa sayang?”, ayah tidak mengerti.

“Ayah, aku ingin ayah disayang Allah”, jawabnya lagi. “iya nak” kita semua ingin disayang Allah, bukan cuma ayah, tapi juga kamu, ibu dan kakak. “Tapi aku, ibu dan kakak sudah di sayang Allah, ayah belum”...”Dess”, sesuatu yg tajam seperti menusuk jantungku dan jantungku berdetak keras ketika si kecil berbicara seperti itu. Aku berusaha menerka-nerka kemana arah pembicaraannya, dan apa kesalahanku sehingga anakku bisa berbicara seperti itu. Adakah selama ini kejahatan yang aku lakukan, aku tidak korupsi, juga tidak mencuri. Aku selalu berbuat baik kepada ayah dan ibuku, bersilaturahmi ke rumah saudara dan berbuat baik kepada tetangga. Sungguh aku sangat bingung oleh pernyataan sibungsu tadi.

“Begini ayah, berapa usia ayah sekarang”, aku menjawab, tiga puluh enam-tiga puluh tujuh” jawabku “yah hampir empat puluh deh” Pungkasku.

“Selama usia itu ayah telah melakukan yang terbaik untuk keluarga kita, memberi kami nafkah, makanan, pakaian, rumah, kendaraan, sekolah, rekreasi dan lain-lain”. “Ya, betul itu dan itu memang tugas ayah” potongku. “tapi ayah tidak memberikan yang terbaik buat ayah, ayah melupakan diri ayah sendiri”, aku bingung lantas menjawab. “Tentu tidak nak, ayah juga memberi makanan, pakaian, kendaraan buat ayah sendiri” bela ku tak mau kalah.

“Ayah”, anakku mendekatiku seraya berbisik. “Coba ayah hitung, berapa kali ayah meninggalkan sholat maghrib karena kesibukan ayah, berapa kali sholat subuh kesiangan karena ayah kelelahan, berapa kali ayah meninggalkan membaca alquran, belum lagi berapa lama ayah tidak sholat berjamaah dimesjid dan lain-lain ayah...” aku terdiam membisu tak mampu berkata apa-apa.

Melihat aku terdiam, anakku meneruskan kalimatnya.

“Ayah, tadi siang di sekolah, guru agama kami bercerita tentang orang-orang yang disayang Allah, orang-orang yang akan selamat selama hidupnya, mereka adalah orang yang ketika mencapai usia empatpuluh tahun tetap dalam keadaan beriman dan beramal sholeh.” Usia empat puluh itu merupakan pangkalnya seseorang apakah akan selamat atau tidak” Jika di usia empat puluh masih berbuat bermaksiat, kecil kemungkinan akan kembali kejalan yang benar ayah.”,“Ketika guru kami bercerita, aku teringat ayah dan aku menangis sedih. Ayah selalu sibuk dengan pekerjaan ayah, ayah hampir tak pernah mengajak kami sholat berjamaah, tak pernah mengajari kami mengaji, tak pernah membangungkan kami sholat subuh, ayah begitu asyik dengan dunia ayah, ayah begitu sibuk dengan pekerjaan ayah, dan ayah membiarkan itu terjadi kepada kami. Untung ada ibu yang mengingatkan kami, mengingatkan aku dan kakak untuk sholat dan mengaji. Tapi aku ingin seperti anak-anak lain ayah, yang begitu riang berangkat ke mesjid bersama ayahnya, mengaji bersama dan berjamaah bersama-sama ayah. Ketika aku mendengar cerita guruku, yang ku lihat adalah wajah ayah, wajah ayah yang murung karena tidak disayang Allah, aku tak kuat membayangkan itu semua ayah, karena aku sangat menyayangi ayah, dan aku ingin ayahku juga disayang Allah, bukan cuma aku, kakak atau ibu”. Ayah, ambillah jam weker milikku ini, agar ayah bisa membangunkan aku esok pagi-pagi dan kita bisa sholat berjamaah bersama-sama esok hari.”

Air mataku mengalir deras, membasahi pipiku tiada henti, hatiku berdegup kencang tak karuan. Ternyata selama ini aku hanya memberikan nafkah dunia buat keluargaku, tetapi membiarkan kehidupan akhiratku terbengkalai, aku juga tidak memberikan teladan yang baik buat anak-anakku karena silaunya dunia yang menantangku untuk ditaklukan. “Ya robbi, ampuni aku, ampuni diri ini yang telah tertipu oleh silaunya materi”. “Nak, maafkan ayahmu, ayah telah mengabaikan kamu dan kakakmu selama ini. Tuhan terimakasih kau kirim hidayah melalui anak terkecilku”.

Seraya menghapus airmata aku berkata kepada anakku, “Nak, jangan tunggu besok, sekarang saja kita sholat berjamaah, mari kita berwudhu, mumpung waktu isya baru saja masuk”, ajak kakak dan ibumu bergabung bersama kita.” Anak ku pun tersenyum, terima kasih ayah, aku sangat sayang sama ayah”

Kami pun segera melaksanakan sholat berjamaah, aku saat itu merasa gerogi sekali, aku malu terhadap diriku, apalagi terhadap anak dan istriku, tapi aku tak peduli, aku lebih malu kepada Allah yg telah kulupakan selama ini.

Dalam suara parau, dalam khusuknya doa, aku menangis tersedu-sedu, dan baru kali ini aku merasakan sholat begitu khusuknya, begitu syahdunya.

Dalam sayup-sayup terdengar suara lirih anak ku berdoa “robbighfirli waali-waalidayya warhamhuma kama robbayani shogiiro” dan aku pun membalas “amin ya robb, kabulkan doa anak ku..”

o0o

Jumat, 26 Maret 2010

Yang tak pernah khawatir

Semilir angin lembut bertiup
Merambat syahdu dalam pelukan
Merawat teduh dalam kenikmatan
Melupakan hamba akan ketaatan…

Saat khawatir hadir menelusup
Saat was-was datang menyergap
Saat kebingungan melanda jiwa-jiwa yg melupakan
Melupakan hidup yang mesti berganti rupa..

Sahabat…
Hanya hati yang darinya dihilangkan rasa kekhawatiran
Hanya hati orang-orang yang dipenuhi ketundukan
Hanya hati yang dipenuhi kepatuhan dan ketergantungan pada Allah
Yang tak pernah takut akan kekhawatiran
Yang tak pernah takut akan was-was itu,
Jika pun ia terpaksa khawatir
Jika pun ia terpaksa was-was
Kekhawatiran dan was-wasnya pun muncul
Hanya karena menanti apa yang akan Allah putuskan untuknya
Bukan khawatir karena takut resiko,
Bukan karena takut hasil yang tak sesuai,
Bukan karena nasib yang tak berfihak
Bukan karena manusia yang tak mendukung
Bukan karena hidup yang kurang beruntung
Bukan karena dunia yang tak lagi hadir disisi..
Sahabat..
Tahukah engkau hati siapakah itu..
Dialah hati para kekasih Allah
Dialah hati para waliyullah
Yang jiwa dan raganya tak pernah menjadi milik dirinya
Yang hidup dan matinya tak pernah dikuasai dunia
Sahabat..
Dimanakah hatimu kau letakkan..?

Minggu, 07 Maret 2010

Cinta yang tak pernah memudar

Ku rebahkan tubuh mungilnya perlahan pada tempat tidur itu
Ku sangga kepalanya dengan bantal
Ku kecup dahi kecilnya
Ku usap rambutnya dengan untaian doa..

Nak,
Aku tahu engkau pernah membuat kami marah
Engkau pernah memecahkan gelas kesayangan ibu
Engkau pernah merobek kertas kerja milik ayah
Bahkan engkau pernah nyaris meruntuhkan rumah ini,
Tapi kemarahan kami bukan karena kami benci kamu,
Kemarahan kami karena kami kurang sabar dalam menghadapimu...

Nak,
Senakal apapun kamu,
Sebandel apapun kamu,
Semua itu adalah masa yang harus kita lalui seperti masa yg selalu berulang dalam ikatan zaman,
Semua kenakalan dan kebandelan kamu,
Justru mengingatkan kami pada almarhum kakek dan nenekmu,
Betapa mereka ternyata lebih sabar menghadapi ayahmu,
Dibandingkan kami menghadapi ulah kamu.

Nak,
Jalan panjang masih membentang dihadapanmu,
Krikil-krikil tajam akan menghambat langkah kakimu,
Tawa dan tangis akan menunggumu dalam setiap persimpangan,
Kuatkanlah langkah kakimu dan tegakkanlah badan dan kepalamu,
Penuhi jiwamu dengan muroqobatullah, dan berkariblah dengan pencipta dirimu..
Sebab hanya DIA yang pantas engkau jadikan sahabat karib, dalam sedih atau senangmu,
Dalam duka atau tawamu...
Sementara itu, hanya doa-doa yang bisa kami panjatkan..
untuk menemani hari-hari panjang mu itu..

Nak, aku tahu...
Suatu saat engkau akan sendiri...
Engkau akan membawa pergi dirimu mengikuti mata angin dimana cita-citamu akan kau labuhkan..
Engkau akan meretas jalan hidupmu sendiri..
Bila ayah dan ibumu masih menjumpai mu saat itu..
Ayah akan menopangmu sekuat kaki ayah,
Dan ibumu akan memelukmu dengan kehangatan kasihnya..
Sementara jika tak ada kami disisimu..
Maka ada Allah yang akan menjaga dirimu selalu..

Nak,
Tangisanmu di pelukan ibumu,
Atau manja-mu di bahu ayah,
Masih tak seberapa indah dibanding dengan tangisanmu pada sajadah panjang,
Atau manja-mu dalam khusyuknya ibadah malam,
Sebab disana engkau akan menemukan kedamaian sesungguhnya,
Sebab engkau akan menemukan cinta sesungguhnya..
Cinta yang tak akan pernah memudar..
Meski ayah dan ibumu pergi meninggalkanmu..
Meski ayah dan ibumu tak ada lagi disamping mu..
---
Ku kecup sekali lagi keningnya,
Ku usap kembali pipinya yang basah oleh bulir airmata yg jatuh,
Ku rapihkan kain selimut yang menutupi tubuhnya,
Sambil beranjak aku bergumam dalam doa,
Semoga Tuhan selalu menjaganya..
Amin.

Jumat, 05 Maret 2010

Kado Terindah 2 - Sambungan

Sepasang pengantin baru saja mengakhiri masa lajangnya. Baru saja mengucapkan sebuah kalimat singkat padat dan dalam penuh makna, ucapan akad nikah seraya berjanji dalam hati bahwa masing-masing akan berazam pada dirinya sendiri, bahwa pernikahan yang akan dijalaninya nanti, keluarga yang akan dibentuknya nanti akan berlandaskan cinta kasih, berpondasikan ketaatan pada Allah, beratapkan sunnah dan memagarinya dengan kasihsayang dan rasa saling percaya. Malamnya sebelum keduanya menikmati rizki yg diberikan oleh Allah, keduanya saling memberikan sebuah hadiah berupa kado berisikan surat tentang impian-impian masing2, tentang asa dan harapan, tentang keinginan dan cita-cita juga tentang kelebihan dan kekurangan dirinya.

Inilah kado sang istri kepada sang suami:

Assalamualaikum wr.wb.
Untuk suamiku tercinta.
Aku bersyukur kepada Allah atas pernikahan ini, atas rahmatnya yang mengirim engkau untuk menjadi pangeranku. Aku berdoa kepada Allah seraya berkhusnudzon kepada ayahku; sebagai bakti kepadanya; yang menyetujui kamu sebagai suamiku meski aku tak begitu mengenal siapa dirimu. Aku berlindung kepada Allah atas niat yang buruk, atas rencana yang jahat dan atas segala keburukan dari sebuah peristiwa. Aku berserah diri kepada Allah atas pilihanku dan bertawakal kepadaNYA.

Suamiku sayang,
Aku yakin engkau suami soleh yang dikirim oleh Allah untuk ku, Aku yakin kepadamu karena engkau adalah pilihan ayahku dan jawaban dari istikharahku. Aku berharap pernikahan ini adalah pernikahan ku satu-satunya dan engkau adalah suami dunia akheratku. Jika aku tidak sempurna dimatamu, ku minta tunjukan padaku bagaimana cara menjadi istri sempurna, apapun aku lakukan untukmu, asal tidak melanggar syariat yg dibenarkan.
Suamiku sayang,
Ketika ayahku menyetujui aku menikah denganmu, sebenarnya aku kasihan kepadamu, sebab engkau belumlah sekuat ayahku dan setegar dirinya dalam menghadapi sikap dan tingkah lakuku, engkau bagiku seperti pemuda nekat yang datang berjuang dengan tangan kosong tapi aku yakin, ketulusanmu dan kesucian niatmu semoga membuat ridha allah mengaliri pernikahan kita.
Suamiku, sebagaimana sabda nabi bahwa kaum wanita seperti tulang rusuk yang bengkok, maka jika engkau ingin meluruskan aku, luruskanlah dengan kasih sayang dan dalam kondisi yg nyaman, karena jika engkau meluruskan aku dalam kondisi emosi dan tidak nyaman, aku tak yakin bahwa allah akan membantumu melaksanakan maksudmu, bahkan engkau akan menderita karena hal itu.

Suamiku, perlu engkau ketahui, sebagaimana atsar dari aisyah yang menyatakan bahwa perkawinan itu ibarat perbudakan bagi kaum perempuan, maka seyogyanya para wali mencarikan suami yang benar untuk anak atau saudara perempuannya. Maka jika bagimu kau inginkan pernikahan seperti itu, maka aku rela melakukannya, asal engkau bisa membantuku mengangkat derajatku ketempat yang lebih tinggi, agar aku bisa layak masuk syurga karenanya , bukankah dalam islam sangat mudah bagi wanita memperoleh tiket ke surga, ia hanya butuh ridha allah dan ridha suaminya.
Suamiku, sebagaimana suatu ikatan atau perjanjian dimana dalam perjanjian itu tidak boleh ada satupun yang menzhalimi atau merasa didzhalimi yg menyebabkan perjanjian itu menjadi haram dimata Allah, Maka ikatan pernikahan ini kuingin tak ada satupun diantara kita yang merasa dizhalimi atau menzhalimi. Ku ingin engkau mengerti perasaan setiap wanita, ku ingin engkau berempati kepada kaum perempuan, tanpa melanggar syariat yang dibenarkan, ku harap dengan izin tuhan bahwa aku ingin seperti fatimah azzahra, yang tidak pernah dimadu seumur hidupnya oleh Ali bin Abi Thalib. Jika engkau bisa memenuhi harapanku, semoga allah memberikan balasan kepadamu atas kebaikanmu kepada ku, jika tidak maka aku harap keputusan mu itu adalah keputusan yang paling darurat dan tanpa melanggar syariat serta tanpa menyakiti hati seorang manusiapun di muka bumi ini.

Suamiku, aku ingin bercerita kepadamu tentang kemuliaan suatu niat, terutama niat dalam sebuah pernikahan, dimana pernikahan itu akan berkah atau tidaknya tergantung niat awal dari masing-masing pasangan. Suamiku pernahkah engkau mendengar kisah tentang ummu sulaim, sahabat wanita yang dimasa hidupnya telah dijamin oleh Allah masuk syurga, engkau pasti pernah mendengarnya, kalaupun lupa aku akan mengingatkannya tentang itu. Ummu sulaim, seorang sahabat wanita yang maharnya merupakan mahar terindah sepanjang sejarah, maharnya adalah syahadat suaminya meskipun suaminya sebelum itu; ingin memberikan segudang emas dan perak jika ia mau menikah dengannya, tetapi semua ditolaknya. Ia hanya menginginkan keislaman suaminya. Dari niat yang tulus dan benar itu, melahirkan rumah tangga yang kuat dan dipenuhi keberkahan, keduanya saling menjaga agar senantiasa keluarga mereka dipenuhi keimanan. Suatu ketika anak bungsu mereka meninggal dunia, malamnya suaminya Abu Tholhah baru saja pulang berdagang, tahukan engkau bagaimana ummu sulaim menenangkan suaminya, dijamunya suaminya dengan makanan yang nikmat, serta diberinya pelayanan yang menenangkan jiwa dan raga suaminya, setelah selesai diajaknya suaminya berdialog tentang amanat atau titipan yang harus dikembalikan jika sang empunya mengambilnya kembali. Tahukah kamu suamiku, rasulpun mendoakan semoga mereka mendapat ganti keturunan yang lebih baik, dan benar saja, kelak benih yang tertanam malam itu melahirkan anak-anak para penghafal alquran dari generasi tabiin.
Suamiku, dari kisah ummu sulaim tadi, aku hanya menginginkan aku dan kamu meluruskan niat pernikahan ini, semoga dengan lurusnya niat kita, memudahkan langkah-langkah kita ke depannya.

Suamiku sayangku, jika engkau menginginkan seorang istri yang saleh, ketahuilah aku bukanlah orang yang engkau maksud, justru aku ingin engkau membimbingku menjadi istri yang saleh, aku tak mau menjadi istri seperti istri nabi Nuh atau nabi Luth, yang mempunyai suami saleh, tetapi kesalehan suaminya tidak membawanya kepada kebaikan sama sekali.

Suamiku, ketika aku menyerahkan kemudi hidupku kepada mu, itu artinya adalah bahwa engkau menjadi pemimpin bagiku, dan bagi anak-anak kita nanti. Jadilah pemimpin yang baik dan adillah terhadap orang yang kamu pimpin. Berhasil atau tidaknya keluarga ini, selamat atau tidaknya bahtera keluarga kita, tergantung kepada dirimu sebagai nahkoda, aku sebagai istri hanya merupakan penumpang yang membantumu menavigasi arah perahu kita, tidak lebih dari itu.
Suamiku inilah yang bisa aku sampaikan kepada mu, tidak ada yang aku inginkan dari pernikahan ini melainkan kebaikan saja, siapapun dirimu, lebih atau kurangnya kamu, aku tak akan melihatnya, keberkahanlah yang aku inginkan dari pernikahan ini. Jika nanti engkau melihat banyak kekurangan pada diriku, itulah aku sebagai manusia biasa yang penuh salah dan dosa, dan jika nanti engkau melihat banyak kelebihan pada diriku, maka bersyukurlah kepada Allah atas nikmat yang diberikan kepadamu, semoga engkau tidak salah memilih aku sebagai pendamping mu.

Salam hormat dan takzim untuk suamiku,

Dari istrimu.


Selepas membaca kado masing-masing, keduanya saling menangis haru, tiadalah kebahagiaan yang paling sempurna dimuka bumi setelah iman, selain kebahagian diberikan pendamping yang soleh dan solehah, yang akan menjadi sahabat dikala gembira dan menjadi pelipur lara dikala berduka. Tiada yang dapat mereka ucapkan selain tahmid dan tasybih seraya bersyukur atas nikmat yang sangat besar yang diberikan Allah kepadanya. Para jiwa menjadi tentram dan damai, para hatipun menjadi khusyuk. Ketika Allah telah menurunkan rizkinya kepada hamba, maka nikmat Tuhanmu mana lagikah yang kalian dustakan (Ar-rahman:18)

Kamis, 11 Februari 2010

Kado Terindah

Sepasang pengantin baru saja mengakhiri masa lajangnya. Baru saja mengucapkan sebuah kalimat singkat padat dan dalam penuh makna, ucapan akad nikah seraya berjanji dalam hati bahwa masing-masing akan berazam pada dirinya sendiri, bahwa pernikahan yang akan dijalaninya nanti, keluarga yang akan dibentuknya nanti akan berlandaskan cinta kasih, berpondasikan ketaatan pada Allah, beratapkan sunnah dan memagarinya dengan kasihsayang dan rasa saling percaya. Malamnya sebelum keduanya menikmati rizki yg diberikan oleh Allah, keduanya saling memberikan sebuah hadiah berupa kado berisikan surat tentang impian-impian masing2, tentang asa dan harapan, tentang keinginan dan cita-cita juga tentang kelebihan dan kekurangan dirinya.

Pertama kado sang suami pada sang istri.

Assalamualaikum wrwb.
Untuk adindaku sayang,
Aku sangat bersyukur kepada Allah atas pernikahan ini, atas dipilihnya engkau sebagai pendampingku atas dipilihnya engkau sebagai kekasihku. Aku juga bersyukur bahwa Allah telah mempertemukan aku dengan mu untuk menjalani sisa kehidupan ini bersamamu.

Adindaku sayang,
Aku adalah orang asing bagimu, dan engkau adalah orang asing bagiku. Kalau bukan karena mengharap ridha Allah atas pernikahan ini, tentu engkau akan memilih orang dekat yg engkau ketahui latar belakangnya, tapi karena engkau memilih Allah sebagai pelindungmu atas segala bahaya yg akan datang padamu, atas segala nikmat yg akan tercurah kepadamu maka engkau memilih aku sebagai suamimu meskipun aku sangat asing bagimu. Maka dengan itu pula akupun berdoa kepada Allah semoga engkau selamat dari bahaya yg timbul karena menikah denganku dan semoga rahmat Allah dapat tercurah kepadamu melalui pernikahan ini.

Adinda sayangku.
Aku bukanlah manusia sempurna yang terbebas dari salah. Aku hanyalah seorang hamba yg ingin menyempurnakan separuh agama, melaksanakan sunnah nabi seperti para sahabatku lainnya. Aku hanyalah seorang pengembara yang baru saja menemukan pulau tambatan hati, setelah sekian lama terombang-ambing dalam gelombang kebingungan dan kebimbangan, hingga Allah menurunkan rizkinya kepadaku berupa dirimu, sebagai tempat pelipur lara, sebagai tempat berkasih sayang, sebagai tempat berkeluh kesah, sebagai tongkat penunjuk jalan, sebagai pelita dalam kegelapan, sebagai embun dikala dahaga, sebagai tempat berteduh dikala panas, sebagai selimut dikala dingin, sebagai peredam duka dikala emosi, sebagai tempat berpangku mesra dikala gundah gulana dan sebagai tempat mengadu dikala ragu dan buntu.

Adindaku, Aku menyadari siapa diriku, maka aku tak ingin meminta lebih kepadamu, aku tak ingin engkau secantik Zulaikha,atau secerdas Aisyah, atau sezuhud Khadijah atau semulia Maryam. Aku juga tak ingin engkau sesolehah Asiah tetapi bersuamikan firaun. Aku hanya ingin engkau seperti apa adanya, yg menangis dikala sedih, yg marah dikala terluka dan tersenyum dikala bahagia. Aku tidak menginginkan engkau sesempurna istri sang nabi, sebab aku sadar bahwa aku pun tidak sesempurna beliau. Yang aku inginkan adalah bahwa kita saling menjaga agar bisa meneladani sikap mereka.

Adindaku...
Jika engkau mengharap harta dariku, ketahuilah aku hanyalah seorang pemuda biasa, yg penghasilannya dapat engkau lihat sendiri. Aku juga bukan pengusaha yg mungkin bisa mewujudkan semua impianmu dengan uang mereka. Tapi jika engkau berpendapat bahwa harta dapat membawa kita kepada syurga, atau kefakiran bisa membawa kepada kekufuran, aku setuju dengan mu. Tapi aku bukanlah Abdurrahman bin auf, atau Abu bakar shiddiq atau ustman bin affan, yg dengan hartanya bisa membawa mereka ke pintu syurga. Aku mungkin hanya bisa menjadi Abudzar al giffari, yg hidup dalam kesendirian dan mati dalam kesendirian. Hanya iman yg ia bawa dan istri yg setia yg menemani pada saat-saat terakhirnya.
Adinda ku..
Justru dengan keberkahan yg insya Allah hadir bersamamu, kita bisa bersama-sama mengumpulkan harta sebagai bekal untuk akhirat kita. Justru dengan pernikahan ini semoga Allah membukakan pintu-pintu rezeki dari arah yg kita tidak sangka-sangka.

Adindaku sayang..
Saat mengetahui engkau menerima khitbahku. Aku menangis terharu, bumi yang ku pijak seakan bergoyang. Aku tak kuasa menahan rasa bahagia saat itu, saat engkau menyetujui lamaranku. Penantian panjang dan melelahkan yg menghabiskan hampir separuh nafas para pemuda dan pemudi, yg membuat mereka terbangun dikala malam, mengadukan nasibnya pada illahi rabbi, menangis disela-sela rintihan dan doa seraya bertanya kapan masa itu akan hadir menjemput mereka. Masa-masa yg menggetarkan jiwa, menyenangkan hati dan membuat orang normal seperti orang kekurang akal, masa yang hakikatnya seperti berjalan diatas titian besi panas hingga mampu menjerumuskan mereka yg tidak sabar akan datangnya masa bahagia itu. Adindaku, tibanya masa itu merupakan rahmat yg tiada tara bagi para hamba yang bersyukur, yang menyadari bahwa pernikahan itu adalah sebuah perjuangan dan bukanlah sebuah permainan.

Sayangku...
Jika engkau mengharapkan ketampanan, kesempurnaan fisik dan penampilan, ketahuilah aku hanyalah seorang manusia biasa, yg lahir dari benih ayah dan ibuku, yang rupa dan bentuk fisiknya tak bisa aku inginkan sesuai mauku. Aku hanya menerima takdir tuhan, beginilah diriku adanya. Aku tidak setampan nabi Yusuf, tidak segagah nabi Daud, tidak sekuat Umar bin khatab, tidak sehalus Usman bin affan, tidak sepintar Ali bin abi thalib, dan aku juga tidak sesabar Abu bakar shiddiq. Jika engkau menginginkan semua sifat itu ada padaku, maka aku berlindung kepada Allah, atas kelemahan diriku. Tapi jika engkau mendoakan aku memiliki salah satu saja sifat mulia mereka, maka aku bersyukur kepada Allah atas doamu itu dan juga atas berlipatnya rizkiku karena menikah dengan manusia pemilik doa sepertimu.

Adindaku, aku dan engkau akan tahu, kita akan menghadapi masa-masa yang akan datang bersama-sama, masa yang kadang indah untuk dikenang, atau pahit untuk diingat. Semua tergantung seberapa besar hati ini mau melapangkan jalan untuk menerima apapun kondisi itu. Sayangku, Jika salah satu sudut hatimu pada saat ini sudah terisi untukku, maka sudut-sudut yang lain isilah dengan rabb pencipta alam semesta. Jangan kau isi semua sudut hatimu dengan diriku atau dengan yanglain kecuali Tuhan mu, sebab aku tidak akan sanggup menjaga mu bahkan menjaga hatimu, hanya Allah lah yang bisa menjagamu, menjaga hati dan jiwamu, menjaga fisik dan ragamu. Kamu mungkin bisa melupakan aku jika aku berbuat kesalahan, kamu bisa saja membuang sudut hati tempatku berpijak dan mengganti dengan orang lain yang sesuai dengan keinginanmu, tapi engkau tidak akan bisa melupakan rabb pemilik hatimu. Dan aku lebih nyaman jika hatimu dikuasai oleh pemilik alam semesta, ketimbang dikuasai oleh aku atau apapun itu.

Adindaku,
Insya Allah kita akan menjalani tahap-tahap usia pernikahan kita,
Pada tahun pertama perkawinan kita, kuharap engkau mau lebih bersabar, mau memahami lebih dalam perbedaan-perbedaan antara kita, sebab kita adalah dua orang asing yang harus mengayuh perahu bersama, jika kita tidak bisa bekerja sama, aku khawatir perahu ini tenggelam ketika baru saja kita meninggalkan pantai.
Pada tahun kedua hingga tahun kelima, kuharap engkau sudah mengerti tentang diriku, tentang sifat dan tingkah lakuku. Saat itu mungkin anak pertama kita akan lahir dan tanggung jawab kita sebagai orangtua baru dimulai. Aku berpesan kepadamu, kemulyaanmu sebagai seorang ibu baru saja dimulai, jika engkau merasa capek dan lelah janganlah sungkan-sungkan untuk meminta tolong kepadaku. Meski aku tahu pada saat itu mungkin kehidupan kita masih prihatin. Tapi aku yakin anak-anak kita yang masih lucu akan mampu menghapus semua duka lara, letih dan lelah serta rasa capek dan lelah karena tugas kita. Tugasmu sebagai madrasah yang memberi pendidikan agama dan nilai luhur para orang saleh pendahulu kita, dan tugasku membantumu membumikan pendidikan itu.
Pada tahun kelima hingga kesepuluh, mungkin kita akan didera oleh kondisi keuangan karena saat itu kebutuhan kita akan meningkat, anak-anak beranjak ke sekolah dan kebutuhan rumah tangga akan meningkat. Aku memohon kepadamu, bantu aku dengan doa-doamu, dengan dhuha dan tahajudmu dengan zikir dan shodaqohmu, semoga masa-masa sulit segera pergi hingga Allah memenuhi janjinya kepada kita.
Pada tahun kesepuluh hingga keduapuluh, mungkin Allah telah mengalirkan rezeki yang deras kepada kita, kehidupan mulai mapan, kesejahteraan mulai datang, dan anak-anak mulai dewasa. Aku memohon kepadamu, bantu aku menguatkan batin dan jiwaku agar aku tidak terperosok kedalam jurang kenistaan, karena godaan dunia berupa harta tahta dan wanita. Sadarkan aku tentang umur dan usiaku yang mulai menua juga temperamenku yang mulai meninggi dimakan usia. Bantu aku bersahabat dengan anak-anak kita, berikan mereka pengertian tentang arti kehidupan sesungguhnya, karena sebentar lagi mereka akan memilih jalannya masing-masing.
Pada tahun ketigapuluh dan sesudahnya, aku tak tahu apakah kita akan sampai disitu, yang jelas kita akan kembali berdua, anak-anak lelaki kita akan pergi dan anak perempuan akan mengikuti suaminya. Kita hanyalah sepasang manusia renta yang tak bisa melawan takdirnya. Kuingin saat itu, hari-hari kita hanya dipenuhi zikir dan tasbih, dipenuhi munajat dan doa, seraya menunggu utusan Tuhan datang menjemput. Aku ingin engkau dan aku tetap menjadi pasangan didunia dan akhirat, jadi kumohon kita saling menjaga, saling memberi peringatan dan tausiah agar tujuan pernikahan ini sesuai dengan yang kita harapkan. Terakhir aku ingin kado ku ini menjadi prasasti cinta kita, yang tertanam jauh dilubuk hati, sehingga jika terjadi goncangan, kita selalu kembali ke komitmen awal pernikahan.
Salam bahagia
Suamimu.


Kado dari sang istri.

Bersambung ke http://rojalidahlan.blogspot.com/2010/03/kado-terindah-2_05.html

Selasa, 19 Januari 2010

Kisah sebuah puisi



Dalam setiap detik kehidupan anak manusia, pasti ada satu moment di antara ribuan moment lain; yang menggetarkan hati dan jiwa mereka, yang sulit untuk dilupakan seumur hidup. Entah itu momen pernikahan, kelahiran, pekerjaan, sekolah dan lain-lain.

Sebagai seorang manusia, dan calon ayah waktu itu, sayapun memiliki salah satu momen itu, dan saya mengabadikan momen kelahiran putri pertama saya dalam secarik puisi, yang jika ia sudah bisa membaca, ia akan saya minta membacanya untuk saya, dan apa reaksinya dengan puisi itu. Ternyata manfaat dan maknanya dalam sekali untuk anak saya, empati yang saya tulis untuknya dalam puisi itu, serta harapan dan doa yg terurai bait demi bait, mampu meluruhkan emosi saat ia marah. Jadilah puisi itu andalan saya ketika memberikan nasehat dan tausiah kepadanya, bahkan adiknya pun ikut terbawa haru dengan puisi itu. Memang puisi itu saya buat dengan melibatkan emosi saya waktu itu, melibatkan seluruh rasa dalam jiwa ini karena sangat gembira atas kelahirannya, ditambah sedikit bumbu agar puisi itu bisa terserap kedalam sanubari pembacanya. Karena bernilai sejarah, puisi itu saya bingkai dan saya taruh bersamaan dengan sebuah lukisan bunga mawar dalam coretan hitam putih dengan latar belakang bulan purnama. Sebuah lukisan bersejarah yang saya buat untuk calon istri saya; yang menjadi icon pernikahan kami, Sebuah lukisan yg menjadi prasasti ketulusan dan keseriusan saya untuk menikah dengannya.

Inilah puisi yang saya persembahkan pada hari kelahiran anak pertama saya itu sembilan tahun lalu,
Selamat menyimak.

Kecerdasan sang bunga keagungan

Untuk anakku Nabila Zahra Azizah
Dari Ayah dan Ibunya

Assalamu’alaikum wr.wb.

Allahu akbar allahu akbar
Allahu akbar allahu akbar
Asyhadualla ilaa ha illallah
Wa asyhaduanna Muhammadarrasulullah

Sabtu, 19 Mei 2001
25 Shafar 1422H
Pukul 06.20.am
Telah lahir Nabila Zahra Azizah
Di RSAB Harapan Kita
Jl. Letjen S.Parman
Jakarta Barat

Ahlan wa sahlan ya bunayyah…
Selamat datang wahai anakku
Selamat datang dalam kehidupan dunia fana
Dan selamat datang dalam bahtera kecil ini
Engkau hadir sebagai penumpang pertama dari perahu kecil yang ayah kemudikan
Menuju ke pelabuhan yang kita nanti
Menuju perjalanan panjang ke haribaan Illahi Rabbi

Wahai Anakku…
Engkau adalah pelita kecil kami
Yang menerangi hati sanubari
Engkau adalah setetes embun dalam ketenangan
Yang menyejukan kegundahan hati kami
Dalam penantian buah cinta ayah dan ibumu

Wahai Anakku…
Engkau adalah harapan kami
Engkau adalah do’a kami
Dan engkau adalah syafaat dunia dan akhirat kami

Wahai Anakku…
Ketahuilah oleh mu
Saat engkau lahir, negeri ini sedang merintih akibat ketidakberdayaan para penguasa dalam memberikan keadilan bagi rakyatnya
Negeri tanah airmu masih belum nyaman untuk ditinggali
Harga-harga melambung tinggi, susu untuk mu pun melangit tinggi
Tapi engkau tidak usah khawatir anak ku
Rizki Allah teramat luas untuk kita yang lemah ini.

Wahai Anakku…
Ketahuilah…
Kelahiranmu tidak sempat dilihat oleh kakekmu
Kakek yang menyayangi ayah dengan teramat sangat
Kakek yang baik, yang mencintai keluarga kita dengan cinta yang tak mungkin dapat dibalas.
Wahai anakku…
Sebenarnya Almarhum kakekmu ingin sekali melihat kamu dilahirkan
Tapi takdir Tuhan menentukan lain
Kakekmu menghadap keharibaan Allah dua puluh enam hari sebelum engkau dilahirkan
Penyakit yang dideritanya sejak ayah masih seusia kamu tak sanggup lagi ditahannya
Beliaupun wafat dengan tenang
Anakku, jika engkau sudah besar nanti dan sudah bisa berdo’a
Maka jangan lupa untuk mendo’akan kakekmu
Juga untuk mendoakan nenek yang amat mencintai kita
Juga untuk mendo’akan kakek dan nenek dari pihak ibumu
Yang selalu merawatmu dengan kasih sayang ketika engkau masih kecil

Wahai Anakku…
Segudang harapan dari ayah dan ibumu mengiringi kelahiranmu
Harapan agar engkau menjadi anak soleh
Yang menjadi saksi di yaumil akhir nanti

Wahai Anakku…
Bunga Keagungan nan cerdas
Itulah arti harafiah namamu
Nama indah yang diberikan ibumu
Agar engkau mempunyai keindahan seperti bunga
Mempunya keagungan dan kecerdasan
Dalam perjalanan hidupmu sebagai amanah dan titipan
Yang diberikan Rabbmu yang telah menciptakan

Wahai putriku…
Engkau adalah muslimah
Engkau adalah wanita
Engkau adalah sebaik-baiknya perhiasan dunia
Jika engkau bisa menjadi anak yang sholihah


Wahai putriku…
Ketahuilah olehmu
Menjaga anak perempuan seperti menjaga mahkota dari kaca
Dia akan retak oleh guncangan sedikit saja
Maka kami berpesan untukmu sejak dini
Patuhilah Rabbmu dan Rasulmu
Karena merekalah sebaik-baiknya penjaga

Wahai putriku…
Ayah berpesan untuk kamu tentang ibumu
Patuhilah perintahnya dan jangan membantahnya
Sebab ridho Allah tergantung ridhonya
Dan surgapun terletak dibawah telapak kakinya
Ia yang mengandung kamu dengan susah payah selama sembilan bulan sepuluh hari
Dan melahirkan kamu dengan penuh kesakitan dan penderitaan
Jagalah ibumu ketika ayah tak ada disisinya
Panggilah Ia dengan selembut-lembutnya panggilan
Panggilah Ia dengan sebutan Ummi
Sebab itulah keinginnannya

Wahai putriku
Ayah berpesan untukmu tentang ayahmu
Patuhilah ayah jika ayah benar, dan tegurlah ayah jika ayah salah
Panggilah ayahmu ini dengan sebutan Abi
Agar ummi tidak merasa sendiri

Wahai putriku
Mulai saat ini dan detik ini
Engkau bisa memanggil ayahmu dengan sebutan Abi
Dan memanggil ibumu dengan sebutan Ummi
Bahagiakanlah kami dengan akhlakmu
Muliakanlah kami dengan tingkah lakumu

Wahai anakku, wahai putriku
Kami berjanji tidak akan menyia-nyiakan kamu
Tidak akan melupakan amanah ini
Do’a kan Abi dan Ummi agar tabah menjalani hidup ini
Bersama-sama mendidikmu dan adik-adikmu nanti
Agar keluarga kita menjadi sakinah mawaddah wa rohmah
Agar perahu kecil yang ayah kemudikan ini
Selamat sampai tujuan
Tidak tenggelam ditengah jalan
Tidak luruh dihantam ombak
Tidak lekang ditelan zaman
Tidak hancur oleh badai
Dan tidak musnah disapu gelombang…

Ahlan wa sahlan yaa putriku
Selamat datang dalam kehidupan ini…


Wassalamu’alaikum wr.wb.
Jakarta, 19 Mei 2001

Dari Abi dan Ummi yang menyayangimu.

-o0o-

Ketika puisi ini dibuat, saya baru saja kehilangan ayah saya, ayah yang selalu memberikan nasehat kepada saya bahkan sampai menentukan di rumah sakit mana anak saya harus dilahirkan. Beliaulah yang menyuruh saya mempersiapkan segala sesuatunya. Bagi anak saya, cerita tentang kakeknya membawa haru tersendiri, bagaimana indahnya jika mempunyai seorang kakek, sebab kini semua kakeknya telah tiada, juga ibu saya yg menyusul ayah saya dua tahun lalu. Yang masih ada hanya neneknya dari pihak ibu atau mertua saya, beliaulah kini yang menjadi pusat perhatian anak-anak saya jika bicara tentang lebaran atau liburan sekolah.

Puisi ini mengikat batin saya dengan anak-anak saya, menjadikan mereka sebagai seorang sahabat,sebagai teman diskusi, bahkan sebagai teman curhat. Empati yang saya bangun dalam puisi itu, ingin saya realisasikan dalam kehidupan sehari-hari dengan memohon izin Allah tentunya. Meski kadang sebagai orangtua, kita juga tidak mau mengalah, kita merasa bahwa mereka masih bau kencur dan tidak mengerti apa-apa. Kadang juga kita menginginkan mereka sesuai dengan maunya kita, kita ingin menguasai jiwa dan raga mereka untuk kita bentuk sesuai dengan keinginan kita, padahal seperti kata Kahlil gibran, “Anakmu bukan lah anakmu, engkau adalah busur dimana panah anak-anakmu dilepaskan, engkau dapat menguasai badannya, tetapi tidak jiwanya”. Mereka tidaklah berbeda dengan kita, masing-masing adalah anak pada zamannya sendiri, perbedaan mereka dengan kita adalah bahwa kita lebih dahulu diberikan kesempatan untuk hidup, sehingga kita lebih pandai dan lebih berpengalaman dari anak-anak kita.
Semoga bermanfaat.

Rabu, 13 Januari 2010

Sejatinya..

Dalam cermin yg lemah memantul,
sejatinya bayang-bayang tercipta buram..
Dalam hati yg semakin tumpul,
sejatinya hidup bagai dikungkung malam..

Tapi
Setitik cahaya tiba-tiba mengenyahkan temaram
membawa sayang dari Sang Pencipta kepada hamba..
mengobati kedunguan pribadi, mencerahkan kebodohan hati
dan menerangkan lugunya jiwa-jiwa yang picik akan nasib yang selalu bergulir..

Dulu mungkin kita raja, dulu mungkin kita penguasa,
tetapi roda zaman menggilas kejam, mematahkan tulang rusuk para penghalang..
mengganti si kaya menjadi si papa, mengganti si tuan menjadi si anak buah
atau
Dulu mungkin kita bukan siapa-siapa, dulu mungkin kita hanya rakyat nestapa..
tetapi roda kehidupan mengangkat beban, mencengkram kuat tengkuk para hamba dan menegakkan dada dan dagu mereka..

Sahabat
Tak ada yang mustahil bagi Allah pemilik semesta..
Jika kita merasa saat ini bahagia, tahanlah bahagia itu, sampai engkau yakin bahagiamu bisa mencium aroma surga..
dan jika kita merasa saat ini berduka nestapa, tahanlah kesabaranmu itu, sampai engkau yakin kenestapaanmu itu bisa menjauhkanmu dari api neraka..

Jika kita sekarang bahagia, sejatinya itu adalah ujian dari Allah..
dan jika kita sekarang menderita, sejatinya itu adalah kasih sayang dari Allah..
DIA maha pencipta dan kita adalah hamba..

Dan sejatinya, para hambalah yang butuh pencipta, bukan sebaliknya..
Pantaskah kita berlepas dariNYA,
Pantaskah kita melawan perintahNYA,

Pantaskah kita menuntut hak kita,
Sedang kewajiban masih terseok-seok oleh kesenangan dunia..
Sedang hak Pencipta masih tergadaikan oleh rakusnya nafsu si hamba..

Jika bukan didunia milikNYA ini, didunia mana lagi kita bisa menepi..
Jika bukan disemesta milikNYA ini, di semesta mana lagi kita bisa terlindungi..

Sejatinya..
Kita adalah Hamba, dan bukan siapa-siapa..

Ya dzat yang membolak-balikan hati, tetapkanlah hati ini dalam ketaatan kepadaMu..