Rabu, 30 Juni 2010

Sejumput empati yang terlupa...

Kisah ini terjadi pada tahun 2000, dan ini adalah pengalaman pribadi yang sangat menyentuh jiwa saya. Kisah ini adalah mewakili karakter sejumlah manusia yang bertanggung jawab atas nasib seorang bocah kecil yang pergi menemui Rabbnya karena kealpaan kami dalam menjawab keinginan sang bocah yang begitu mulia dalam menuntut ilmu.

Kisah ini pula yang menyadarkan saya betapa pentingnya mempunyai sense of crisis yang tinggi terhadap kaum papa, betapa pentingnya arti persaudaraan terhadap kaum miskin, betapa pentingnya pula merendahkan diri dan mengayomi sesama mahluk, juga betapa pentingnya melihat dan turun kebawah-menerima informasi secara langsung serta betapa pentingnya menikmati sulitnya kehidupan mereka,kehidupan kaum dhu’afa.

Kisah ini bermula dari keinginan sebuah keluarga kecil nan papa untuk menyekolahkan putri semata wayangnya kesebuah Taman Kanak Kanak Islam Terpadu di bilangan Kemanggisan Jakarta Barat yang kebetulan saya menjabat sebagai Ketua Yayasan Pendidikan disitu.

Katakanlah keluarga itu adalah keluarga putri, dengan sang anak bernama Putri (bukan nama sebenarnya), ibunya bernama Ummi Putri dan ayahnya Abi Putri. Tingkat ekonomi keluarga itu bukanlah termasuk tingkat ekonomi keluarga mampu, bukan pula tingkat ekonomi keluarga para penerima MSAA yang mulai kongkalikong dengan pemerintah agar tidak dijadikan miskin, bukan pula keluarga mantan penguasa orba atau keluarga kroninya, bukan pula para keluarga oportunis baru yang mulai menggeliat pencari peluang kapan bisa dekat dengan penguasa, bahkan keluarga tersebut dapat dikatakan hidup dibawah garis kemiskinan, garis yang menjadi fenomena umum yang mewakili mayoritas rakyat Indonesia pasca krisis moneter.

Abi Putri hanyalah seorang pedagang bakmi ayam keliling, sedang Ummi Putri adalah seorang pedagang gado-gado. Mereka adalah kaum urban yang mencoba mengadu nasib di Jakarta. Tinggal dikontrakan sempit dan kurang terawat di pinggiran Kemanggisan, berbatasan dengan Kelurahan Kebun Jeruk.

Kerasnya kehidupan kota, sayangnya tak mampu dihadapi secara tegar oleh Abi Putri, Beliau sering marah-marah, bahkan terkesan cuek dengan anak istrinya.Setiap kali ada masalah, selalu diakhiri dengan pertengkaran sengit yang cukup membuat jiwa Putri menjadi terganggu bahkan mungkin bisa dikatakan depresi.

Ummi putri lebih bijak dari sang ayah, beliau dikaruniai kesabaran yang kuat untuk menghadapi badai dalam bahtera rumah tangga, beliau berusaha mengalah dan menutupi sesalahan suaminya dengan rajin beribadah. Apapun perkataan dan cercaan suaminya tak pernah Ia balas.

Putri pun bukanlah seorang anak yang manja, Ia seorang anak yang pendiam dan jarang merepotkan orang tua. Saat saya tanyakan tentang sifat-sifat Putri kepada temannya, rata-rata mereka menjawab bahwa putri adalah anak yang baik,rajin dan pandai pula di sekolahnya.

Ya. Putri memang sudah bersekolah, gadis kecil berusia 5 tahun itu sudah masuk ke sekolah taman kanak-kanak kelas A (nol kecil). Ibunyalah yang mengantar pendaftarannya waktu itu. Saat itu kami dari Yayasan belum tahu secara pasti tingkat ekonomi keluarga putri, sebab dari data yang masuk, tertulis pekerjaan Abi putri sebagai wiraswasta. Kebijakan kami adalah membebaskan biaya sekolah bagi para yatim atau piatu atau kepada keluarga yang secara tertulis menyatakan tidak mampu, kami tidak mengetahui kalau keluarga putri tidak mampu, akhirnya biaya masuk dan SPP untuk putri kami anggap setara dengan siswa-siswa yang lain.

Sekolah telah berjalan selama 3 bulan, putri pun bersekolah sama seperti anak-anak yang lain, dengan ceria membawa tas dengan dorongan roda seperti travel bag yang saat itu lagi ngetop pada anak-anak seusianya. Pulang sekolah bermain dengan anak-anak sebayanya dan bermain sepuasnya layaknya anak-anak seusia taman kanak-kanak yang sedang memahami kehidupan dunianya yang penuh keceriaan. Dibidang akademis, menurut laporan kepala sekolahnya, Putri pun kelihatan pintar dan cerdas, Ia cepat sekali menerima pelajaran membaca, menulis dan berhitung. Bacaan qiro’atinya pun sangat bagus dan tidak pernah mengulang. Ia menikmati kehidupannya dengan antusias dan
energik. Sekolah-pulang-bermain-tidur-bangun pagi dan sekolah lagi.

Memasuki bulan ke empat, tiba-tiba putri tidak sekolah masuk selama seminggu, para guru dan kepala sekolah sangat heran, mengapa putri tidak masuk selama seminggu. Lalu saya menyuruh kepala sekolah dan guru untuk menjenguk putri, mencari tahu ada apakah gerangan, apakah putri sakit atau berhalangan. Tiga hari kemudian saya mendapat laporan dari kepala sekolah, bahwa putri tidak masuk karena dilarang ayahnya. Saya bingung, mengapa Abi Putri melarang putri untuk pergi kesekolah. Ternyata ayahnya malu karena sudah dua bulan tidak melunasi SPP. Ia mengalami kesulitan keuangan.
Lalu saya instruksikan kepada Kepala Sekolah untuk menyuruh Putri tetap masuk sekolah tanpa bayaran, sampai putri selesai sekolahnya di TK ini.

Keesokan harinya putri memang sekolah lagi, tapi keesokan harinya pula Ia tak masuk-masuk lagi selama satu minggu. Menurut berita dari para wali murid lainnya, Abi dan Ummi putri malu untuk sekolah karena tdk bayaran, meskipun sudah kami beritahukan bahwa putri bebas biaya sekolah. Tapi ayah putri bersikeras melarang anaknya untuk sekolah, akhirnya kami tak bisa berbuat apa-apa. Tiba-tiba satu minggu kemudian terdengar berita duka cita, bahwa putri berpulang ke Rahmatullah, setelah mengalami sakit selama dua minggu.
Dan ternyata sakitnya putri disebabkan karena ia bersikeras ingin sekolah tapi dilarang ayahnya, subhanallah. Putri mengalami sakit akibat tekanan batin, jiwa kanak-kanaknya terkekang. Keinginan sekolahnya pupus, dunia kanak-kanaknya harus menderita karena alasan ekonomi.

Kami menyadari, bahwa kami pun terlibat dalam peristiwa itu, kami tidak bisa menyalahkan ayah putri. Seandainya dari awal putri kami bebaskan dari uang sekolah, tentu kejadiannya tidak akan seperti ini. Kami sangat menyesal sekali, Astagfirullah al Adziim, Ya Allah ya Rabbi, ampuni kami yang lalai ini, lalai terhadap amanah mu. Saya sebagai pemimpin merasa tak becus dan tak peka atas penderitaan ummat.

Untunglah klaim asuransi jiwa yang kami daftarkan terhadap siswa-siswa kami segera turun, artinya uang sekian juta yang diberikan sebagai penghibur untuk Ummi putri yang begitu shock atas kehilangan putrinya ibarat setitik embun dipagi hari.
Akhirul kalam, peristiwa diatas sangat memberikan hikmah kepada kami para pengurus Yayasan, bahwa kepedulian utama sebagai seorang muslim adalah memahami penderitaan saudaranya secara langsung. Segala orasi, segala ucapan, segala cuap-cuap tak akan pernah membawa hasil, tanpa mengetahui, memahami dan merasakan dengan betul apa kebutuhan mereka. Mungkin para pemimpin yang asyik berebut pengaruh, para penguasa yang asyik berebut jabatan, para wakil rakyat asyik minta kendaraan dinas para pengusaha yang asyik minta fasilitas, tak akan pernah tahu penderitaan orang-orang seperti keluarga putri. Tapi mudah-mudahan kita disini, yang merasa punya nurani,
masih peka terhadap kesulitan sesama agar kelak di akhirat nanti, kita mampu menjawab dengan baik segala amanah yang dilimpahkan kepada kita sebagai seorang pemimpin.
Ya Allah limpahkan ketabahan kepada kaum dhu’afa diantara kami, Amin.


Rojali Dahlan
Ketua YPIA
Kemanggisan Palmerah
Jakarta Barat.

PS. Khabar terakhir yang saya dengar, Ummi Putri dan Abi Putri bercerai, dan
Ummi putri kembali kekampung halamannya.

2 komentar:

  1. Hai! masih ingat aku maz? hehe... Kenapa ya aku selalu menitikkan airmata jika membaca tulisanmu?

    BalasHapus
  2. Alhamdulillah berarti anti masih diberi nikmat berupa hati yang lembut penuh empati dan kasih sayang. Terima kasih masih sering berkunjung kesini. Jazakallah khoiron katsiir..

    BalasHapus